Thursday, August 8, 2013

Heart Attack (Part 5-6)

Part 5 – Perusak Masa Lalu
“Dek, itu kakakmu kenapa kok pulang-pulang matanya sembab?” Tiara masuk ke kamar Deka tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. Deka yang sedang membaca komiknya dalam posisi baling-baling—kepala di bawah, kaki di atas—dengan sigap mengubah posisinya menjadi duduk tegak.
                “Lah? Emang tuh anak abis ngapain?” Deka bertanya balik dengan tampang bodohnya.
                “Hush, kamu itu! Ditanya kok malah nanya balik, sih?”
                Deka menggaruk tengkuknya. “Yaa.. Kan Mama abis dari luar terus ngeliat Mbak Marisa pulang, jadi wajar kalo aku nanya balik. Wong dari tadi aku di sini terus, kok.” Deka berkelit.
                “Oh, iya ya? Mama lupa,” Tiara terkekeh pelan melihat anak bungsunya cemberut kesal.
                Deka melupakan kekesalannya dan menatap mamanya kembali dengan serius, “Mbak Marisa pulang dengan mata sembab?” tanyanya serius.
                “Iya. Gih, sana kamu samperin dia ke kamarnya.” Tiara mendorong anaknya keluar kamar.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Mbak?” terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar Marisa diiringi suara Deka yang memanggil-manggil namanya. Marisa masih saja bergeming dalam posisinya sekarang; duduk memeluk lutut di atas kasurnya. Matanya sudah bengkak akibat menangis sepanjang perjalanan pulang tadi.
                “Mbak..” Deka kembali bersuara.
                Marisa segera menghapus air matanya. Ia tidak akan menutupi keadaannya pada Deka tapi ia juga tidak ingin Deka melihat wajahnya sekarang. Ia yakin kalau ia tidak menghapus air mata yang menggenang di kedua pipinya yang sedikit chubby, Deka pasti akan menertawakannya. “Apa?” suaranya terdengar serak khas orang yang sedang menangis.
                “Gue masuk, ya?”
                “Hmm..” Marisa bergumam tidak jelas. Pintu kamarnya terbuka dan muncul Deka yang hanya menggunakan kaos oblong berwarna putih dan celana pendek selutut, di tangannya ada segelas cokelat hangat. Berhubung hujan mulai turun dengan derasnya sejak Marisa masuk ke kamar, Deka berinisiatif membuatkan cokelat hangat kesukaan sang kakak.
                “Kenapa mata lo? Kencan lo gagal, Mbak? Idih, ditanya malah nangis. Kayak bocah lo,” Deka mengakhiri kalimatnya dengan cibiran.
                Marisa kembali sesenggukan. Di kepalanya kembali terbayang kejadian di taman tadi. “Dek..”
                “Ha?” Deka menyahut seraya merebahkan tubuhnya di sebelah Marisa.
                Marisa mengambil napas panjang sebelum berkata, “Lo kenal perempuan laknat itu?”
                Deka menaikan sebelah alisnya tinggi. Siapa pula yang dimaksud oleh kakaknya ini? “Perempuan laknat? Siapa, tuh?” tanyanya penasaran.
                “Elletha..” Marisa memberanikan diri untuk menyebut nama seseorang yang sangat sangat dibencinya sejak empat tahun lalu.
                “Ng? Lo ngapain nyebut-nyebut nama perempuan sialan itu di sini, Mbak?” Emosi Deka mulai tersulut mendengar nama yang diucapkan Marisa.
                “Deka, I’m serious now! Just answer my question, please!” Marisa memohon.
                Deka menghembuskan napasnya keras. “Gue nggak kenal dia. Tapi temen gue kenal sama adeknya.”
                “Siapa nama adiknya?”
                “Lo kenapa jadi kepo sama asal-usul manusia jalang itu sih, Mbak?”
                “Jawab aja!”
                “Veno Anggara.”
                “Anggara?” Marisa mengernyitkan dahinya heran. Sepertinya ia tidak asing dengan nama itu.
                Deka bangkit dari posisi berbaringnya dan mengambil gelas yang berisi cokelat hangat yang ia letakan di atas meja nakas. “Nih, minum dulu,” perintahnya.
                Marisa menurut dan menghirup aroma cokelat hangat tersebut. Seketika perasaannya sedikit tenang dan menghangat. “As usually, hot chocolate always make me calm.” gumamnya.
                “Lo kenal sama salah satu anggota keluarga Anggara, Mbak?” tanya Deka.
                Marisa terdiam dalam kurun waktu yang cukup lama. Ia merasa seperti pernah kenal dengan salah satu Anggara. Tapi dimana? Beberapa detik kemudian Marisa tersentak. “Beno Anggara..” tanpa sadar Marisa menggumam kencang.
                Deka langsung menoleh ke arahnya. “Lo nyebut nama siapa tadi, Mbak? Beno Anggara? Itu kan managing director di perusahaan ANG Group, dia sepupu Veno dan Elletha—si perempuan kurang ajar itu!” Elletha yang sejak tadi mereka sebut-sebut memang menyandang nama ‘Anggara’ sebagai nama keluarganya. Elletha, gadis yang menjadi awal dari kehancuran hubungan Marisa dengan Reno.
                “Tadi gue ketemu dia.” Deka terdiam mendengar ucapan kakaknya.
                “Dia siapa?” tanyanya bingung. Omongan mereka sedari tadi memang kurang jelas dan hanya berputar di nama ‘Anggara’. Hal itu membuat Deka bingung setengah mati.
                “Elletha Anggara..”
                “WHAT?!! You met her? How could—
                “Dia datang dan langsung manggil Reno tanpa memperdulikan gue yang ada di sebelahnya. Dia langsung cium Reno dengan membabi buta. Bikin gue muak sekaligus jijik liatnya!” Emosi Marisa kembali naik dan air mata kembali jatuh dari sudut matanya. Deka hanya mampu ternganga mendengarnya.               
                “Dia nggak tau malu. Cium orang seenaknya di tempat umum!” Marisa kembali meracau.
                “Mbak..” Deka bingung harus berkata apa.
                “Gue mau tidur,” ucap Marisa tiba-tiba dan mengambil posisi berbaring seraya menarik selimut hingga menutupi lehernya. Belum sempat Deka mengutarakan beberapa pertanyaan, suara napas yang beraturan milik Marisa terdengar tanda ia sudah terjun ke alam mimpi.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Lo!” Gadis tersebut menarik rambut panjang Marisa. Membuat Marisa memekik kesakitan.
                “Tinggalin Reno sekarang juga!”
                “Tha.. Sakit,” rintih Marisa.
                “Gue baru mau lepasin kalo lo setujuin keinginan gue supaya lo putus sama Reno!”
                “Elletha! Kenapa sih lo kejam banget? Apa salah gue, hah?” Marisa mencoba melawan.
                Gadis yang dipanggil Elletha tadi menyeringai, “Salah lo? Banyak! Salah satunya adalah hubungan lo dengan Reno sebagai pacar. Itu kesalahan fatal! Lo nggak pantes berhubungan sama Reno. Because you are a commoner!
                “And for your information,” Elletha kembali melanjutkan. Tangannya semakin rajin menarik rambut panjang Marisa hingga membuat Marisa meringis karena rasa perih di kepalanya. “Gue dan Reno udah pernah tidur bareng!” Elletha mengucapkan kalimatnya dalam suara rendah namun tegas.
                Seketika mata Marisa melebar tak percaya. “K-Kapan?” tanyanya.
                “Sepulang dari pesta ulang tahun Merlin,” ucapnya puas melihat wajah Marisa yang berubah pucat pasi.
                Dengan segenap keberanian yang ada, Marisa menghentakan tangan yang menarik rambutnya sejak tadi dan memelintirnya kebelakang. Mempraktikan salah satu jurus aikido yang ia pelajari dari temannya.
                “Lo pasti bohong,” Marisa mulai emosi sementara Elletha mulai meringis karena tangannya dipelintir ke belakang.
                “Gue nggak bohong,” tegasnya.
                Tiba-tiba Marisa melepaskan pegangannya pada tangan Elletha. Raut wajahnya datar tanpa ekspresi dan emosi. Namun di dalam hatinya ia memendam kekecewaan yang mendalam pada pacarnya, Reno. Reno telah menghianatinya!
                “Oke.. Kalo emang itu mau lo, gue mau tinggalin Reno.” Suaranya bergetar menahan tangis sementara Elletha tersenyum puas walau harus menahan sakit dipergelangan tangannya akibat pelintiran tadi.
               
Dengan napas terengah-engah, Marisa bangun dari tidurnya. Ia mimpi buruk lagi. Mimpi yang memang kejadian nyata.
                Tenggorokannya terasa kering. Ketika melihat jam dinding yang ada di kamarnya, keningnya berkerut heran. Jam setengah empat sore. Baru satu jam ia tidur dan ia sudah dihantui mimpi buruk. Ia memutuskan untuk turun ke bawah mengambil segelas air dan melanjutkan tidurnya. Tubuhnya masih terasa lelah padahal ia tidak melakukan pekerjaan berat.
                Sebelum turun dari tempat tidurnya, ia menyempatkan diri untuk mengecek ponselnya. Benar saja, lima panggilan tidak terjawab dari sebuah nomor yang tidak ia kenal masuk ke ponselnya serta satu pesan dari nomor yang tak dikenal juga.
From: +6285767******
Sekali lagi lo coba deketin Reno, lo akan menuai badai untuk diri lo sendiri!
                Seketika wajah Marisa pucat pasi. Hanya ada satu nama yang melintas di otaknya saat ini,
                ELLETHA!














Part 6 – Moreno’s POV
What the hell—?” Moreno menggeram marah pada gadis yang duduk di pangkuannya ini. Dari ekor matanya ia melihat Marisa menyetop sebuah taksi yang lewat dan segera masuk ke dalamnya. Ia yakin, Marisa pasti sedang menahan tangisnya tadi.
                “Renooo.. Aku kangen kamu,” ucap gadis tersebut. Nada suaranya manja dan entah kenapa hal itu membuat Reno muak seketika. Dengan satu sentakan keras ia menyingkirkan perempuan tersebut dari pangkuannya. Matanya berkilat-kilat marah. Namun gadis tersebut tidak merasa takut.
                “Renoooo,” rajuk gadis itu lagi.
                “Stop it, Elletha! Mau apa kamu ke sini, hah?!”
                Gadis yang dipanggil Elletha itu memanyunkan bibirnya kesal. “Kamu nggak kangen sama aku?” ia bertanya balik.
                “You wish! Now, get out of my sight,” Reno berteriak kesal.
                “Tapi aku masih kangen sama kamu, Reno!” Elletha mendelik kesal pada Reno yang sekarang sudah berdiri di depannya.
                Reno menggeram marah. Perempuan lancang ini sukses merusak harinya dengan membuat emosinya naik. Ia melangkah meninggalkan Elletha. Reno hampir membuka pintu mobilnya ketika seseorang memeluknya dari belakang. Siapa lagi kalau bukan Elletha. Moreno memejamkan matanya sesaat, berusaha menekan emosinya. Bagaimanapun juga, Elletha adalah seorang perempuan. Pantang baginya untuk melayangkan bogem mentahnya ke seorang perempuan. Dengan satu sentakan kasar ia melepaskan tangan Elletha yang masih melingkari pinggangnya dari belakang. Tanpa melirik Elletha, Moreno membuka pintu mobilnya dan segera memacu mobilnya meninggalkan taman.
                “Kita lihat, siapa yang bisa merebut hati kamu, Reno. Dan itu sudah pasti aku!” desisnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Reno mengacak rambutnya dengan kesal. Ia membanting tubuhnya asal ke atas ranjangnya. Matanya menatap langit-langit kamar dengan pandangan menerawang. “AAARRGGH!!” Tiba-tiba ia berteriak kesal.
                “Bang Renooooo!! Kenapa, sih, lo? Berisik tau! Gue jadi nggak konsen belajar, nih,” gerutuan dari kamar sebelah langsung terdengar ketika ia selesai berteriak. Ia bergumam tidak jelas tanpa memedulikan gerutuan adik perempuannya yang sedang sibuk belajar.
                “Sa..” gumamnya lirih. Tiba-tiba perasaan itu datang kembali. Perasaan yang sama yang dirasakannya ketika ia kehilangan Marisa dulu. Perasaan kehilangan yang membuat hatinya kosong, hampa. Ia lelah. Bagaimanapun juga ia seorang manusia yang mempunyai titik lelah. Tanpa  sadar ia memejamkan matanya dan terjun ke alam mimpi. Di mimpinya ia melihat Marisa yang semakin menjauh dari pandangannya dan hilang.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cause I don't wanna lose you now
I'm lookin' right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart
Is a space that now you hold
Show me how to fight for now
And I'll tell you baby, it was easy
Comin' back into you once I figured it out
You were right here all along
It's like you're my mirror
My mirror staring back at me
I couldn't get any bigger
With anyone else beside of me
And now it's clear as this promise
That we're making two reflections into one
Cause it's like you're my mirror

My mirror staring back at me, staring back at me
Justin Timberlake – Mirrors
Dering suara ponsel membangunkan Moreno dari tidur nyenyaknya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya di tengah kegelapan ruangan. Jam berapa ini? Dengan malas ia menyambar ponselnya yang diletakan di atas meja nakas samping ranjangnya. Ia melihat caller-ID  pada layar ponselnya, nomor tak dikenal.
                Reno mengernyitkan keningnya heran namun tetap mengangkat panggilan tersebut. “Halo..” sapanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
                “Reno sayaaaannngggg!” teriak orang di seberang sana.
                Reno mengangkat sebelah alisnya dan menatap layar ponselnya, memastikan kalau yang menelponnya ini sama sekali tidak ia kenal. “Maaf, ini siapa ya?”
                “Ih, kamu tega!”
                Lho?
                “Saya tega kenapa?” tanya Reno dengan tampang bego.
                “Kamu nggak inget suara aku?”
                “Ini siapa siih?” Reno mulai frustasi. Otaknya sedang tidak bisa diajak main teka-teki seperti sekarang ini.
                “Ini aku Elletha, babe,” seru gadis di seberang sana.
                “Oh my God! Someone please kill me right now, right here!” jerit Reno dalam hati. “Gimana bisa ini mak lampir ngedapetin nomor gue, sih?” gerutunya pelan.
                “Babe?
                “Elletha, denger ya, gue bukan pacar lo! Jadi lo nggak berhak sama sekali buat panggil gue dengan sebutan sayang, babe, ataupun semacamnya dengan suara lo yang menjijikan itu!”
                “Ren—”
                “Walaikumsalam!” Reno mengakhiri panggilan dengan kesal. Ia membanting ponselnya ke atas kasur dan berjalan dengan sembarangan untuk menghampiri saklar lampu yang ada di sebelah pintu kamar. Akibat tindakan sembrononya itu tanpa sengaja ia menabrak kaki meja dan menyebabkan nyeri di tulang keringnya.
                “Shit!” umpatnya kesal. Setelah mendapat benda kecil yang ia cari, Reno segera menekan tombol saklar tersebut dan kamar yang tadinya gelap berubah menjadi terang. Ia menyipitkan matanya untuk beradaptasi dengan cahaya yang tiba-tiba menyerang matanya.
                Tiba-tiba ia teringat Marisa. Dengan cepat ia menyambar ponsel yang tadi ia banting ke atas kasur dan menekan angka 9 pada speed-dial.
                Sudah tiga kali panggilannya di reject oleh Marisa. Ia memandang ponselnya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.
                Dengan wajah frustasi ia mengetikan pesan kepada gadis yang menyita pikirannya beberapa hari ini.
                To: My Marisa
                Marisa, aku gak akan nyerah buat ngedapetin kamu lagi!

No comments:

Post a Comment