Part 5 – Perusak Masa Lalu
“Dek, itu kakakmu kenapa kok pulang-pulang matanya sembab?” Tiara
masuk ke kamar Deka tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. Deka yang sedang
membaca komiknya dalam posisi baling-baling—kepala di bawah, kaki di
atas—dengan sigap mengubah posisinya menjadi duduk tegak.
“Lah? Emang
tuh anak abis ngapain?” Deka bertanya balik dengan tampang bodohnya.
“Hush, kamu
itu! Ditanya kok malah nanya balik, sih?”
Deka
menggaruk tengkuknya. “Yaa.. Kan Mama abis dari luar terus ngeliat Mbak Marisa
pulang, jadi wajar kalo aku nanya balik. Wong
dari tadi aku di sini terus, kok.” Deka berkelit.
“Oh, iya ya?
Mama lupa,” Tiara terkekeh pelan melihat anak bungsunya cemberut kesal.
Deka
melupakan kekesalannya dan menatap mamanya kembali dengan serius, “Mbak Marisa
pulang dengan mata sembab?” tanyanya serius.
“Iya. Gih,
sana kamu samperin dia ke kamarnya.” Tiara mendorong anaknya keluar kamar.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Mbak?” terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar Marisa diiringi
suara Deka yang memanggil-manggil namanya. Marisa masih saja bergeming dalam
posisinya sekarang; duduk memeluk lutut di atas kasurnya. Matanya sudah bengkak
akibat menangis sepanjang perjalanan pulang tadi.
“Mbak..” Deka
kembali bersuara.
Marisa segera
menghapus air matanya. Ia tidak akan menutupi keadaannya pada Deka tapi ia juga
tidak ingin Deka melihat wajahnya sekarang. Ia yakin kalau ia tidak menghapus
air mata yang menggenang di kedua pipinya yang sedikit chubby, Deka pasti akan menertawakannya. “Apa?” suaranya terdengar
serak khas orang yang sedang menangis.
“Gue masuk,
ya?”
“Hmm..”
Marisa bergumam tidak jelas. Pintu kamarnya terbuka dan muncul Deka yang hanya
menggunakan kaos oblong berwarna putih dan celana pendek selutut, di tangannya
ada segelas cokelat hangat. Berhubung hujan mulai turun dengan derasnya sejak
Marisa masuk ke kamar, Deka berinisiatif membuatkan cokelat hangat kesukaan
sang kakak.
“Kenapa mata
lo? Kencan lo gagal, Mbak? Idih, ditanya malah nangis. Kayak bocah lo,” Deka
mengakhiri kalimatnya dengan cibiran.
Marisa
kembali sesenggukan. Di kepalanya kembali terbayang kejadian di taman tadi.
“Dek..”
“Ha?” Deka
menyahut seraya merebahkan tubuhnya di sebelah Marisa.
Marisa
mengambil napas panjang sebelum berkata, “Lo kenal perempuan laknat itu?”
Deka menaikan
sebelah alisnya tinggi. Siapa pula yang dimaksud oleh kakaknya ini? “Perempuan
laknat? Siapa, tuh?” tanyanya penasaran.
“Elletha..”
Marisa memberanikan diri untuk menyebut nama seseorang yang sangat sangat
dibencinya sejak empat tahun lalu.
“Ng? Lo
ngapain nyebut-nyebut nama perempuan sialan itu di sini, Mbak?” Emosi Deka
mulai tersulut mendengar nama yang diucapkan Marisa.
“Deka, I’m serious now! Just answer my question, please!” Marisa memohon.
Deka
menghembuskan napasnya keras. “Gue nggak kenal dia. Tapi temen gue kenal sama
adeknya.”
“Siapa nama
adiknya?”
“Lo kenapa
jadi kepo sama asal-usul manusia jalang itu sih, Mbak?”
“Jawab aja!”
“Veno
Anggara.”
“Anggara?”
Marisa mengernyitkan dahinya heran. Sepertinya ia tidak asing dengan nama itu.
Deka bangkit
dari posisi berbaringnya dan mengambil gelas yang berisi cokelat hangat yang ia
letakan di atas meja nakas. “Nih, minum dulu,” perintahnya.
Marisa
menurut dan menghirup aroma cokelat hangat tersebut. Seketika perasaannya
sedikit tenang dan menghangat. “As
usually, hot chocolate always make me calm.” gumamnya.
“Lo kenal
sama salah satu anggota keluarga Anggara, Mbak?” tanya Deka.
Marisa
terdiam dalam kurun waktu yang cukup lama. Ia merasa seperti pernah kenal dengan
salah satu Anggara. Tapi dimana? Beberapa detik kemudian Marisa tersentak.
“Beno Anggara..” tanpa sadar Marisa menggumam kencang.
Deka langsung
menoleh ke arahnya. “Lo nyebut nama siapa tadi, Mbak? Beno Anggara? Itu kan managing director di perusahaan ANG
Group, dia sepupu Veno dan Elletha—si perempuan kurang ajar itu!” Elletha yang
sejak tadi mereka sebut-sebut memang menyandang nama ‘Anggara’ sebagai nama
keluarganya. Elletha, gadis yang menjadi awal dari kehancuran hubungan Marisa
dengan Reno.
“Tadi gue
ketemu dia.” Deka terdiam mendengar ucapan kakaknya.
“Dia siapa?”
tanyanya bingung. Omongan mereka sedari tadi memang kurang jelas dan hanya
berputar di nama ‘Anggara’. Hal itu membuat Deka bingung setengah mati.
“Elletha
Anggara..”
“WHAT?!! You met her? How could—“
“Dia datang
dan langsung manggil Reno tanpa memperdulikan gue yang ada di sebelahnya. Dia
langsung cium Reno dengan membabi buta. Bikin gue muak sekaligus jijik
liatnya!” Emosi Marisa kembali naik dan air mata kembali jatuh dari sudut
matanya. Deka hanya mampu ternganga mendengarnya.
“Dia nggak
tau malu. Cium orang seenaknya di tempat umum!” Marisa kembali meracau.
“Mbak..” Deka
bingung harus berkata apa.
“Gue mau
tidur,” ucap Marisa tiba-tiba dan mengambil posisi berbaring seraya menarik
selimut hingga menutupi lehernya. Belum sempat Deka mengutarakan beberapa
pertanyaan, suara napas yang beraturan milik Marisa terdengar tanda ia sudah
terjun ke alam mimpi.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Lo!”
Gadis tersebut menarik rambut panjang Marisa. Membuat Marisa memekik kesakitan.
“Tinggalin Reno sekarang juga!”
“Tha.. Sakit,” rintih Marisa.
“Gue baru mau lepasin kalo lo
setujuin keinginan gue supaya lo putus sama Reno!”
“Elletha! Kenapa sih lo kejam
banget? Apa salah gue, hah?” Marisa mencoba melawan.
Gadis yang dipanggil Elletha
tadi menyeringai, “Salah lo? Banyak! Salah satunya adalah hubungan lo dengan
Reno sebagai pacar. Itu kesalahan fatal! Lo nggak pantes berhubungan sama Reno.
Because
you are a commoner!”
“And for
your information,” Elletha kembali
melanjutkan. Tangannya semakin rajin menarik rambut panjang Marisa hingga
membuat Marisa meringis karena rasa perih di kepalanya. “Gue dan Reno udah
pernah tidur bareng!” Elletha mengucapkan kalimatnya dalam suara rendah namun
tegas.
Seketika mata Marisa melebar tak
percaya. “K-Kapan?” tanyanya.
“Sepulang dari pesta ulang tahun
Merlin,” ucapnya puas melihat wajah Marisa yang berubah pucat pasi.
Dengan segenap keberanian yang
ada, Marisa menghentakan tangan yang menarik rambutnya sejak tadi dan
memelintirnya kebelakang. Mempraktikan salah satu jurus aikido yang ia pelajari
dari temannya.
“Lo pasti bohong,” Marisa mulai
emosi sementara Elletha mulai meringis karena tangannya dipelintir ke belakang.
“Gue nggak bohong,” tegasnya.
Tiba-tiba Marisa melepaskan pegangannya
pada tangan Elletha. Raut wajahnya datar tanpa ekspresi dan emosi. Namun di
dalam hatinya ia memendam kekecewaan yang mendalam pada pacarnya, Reno. Reno
telah menghianatinya!
“Oke.. Kalo emang itu mau lo,
gue mau tinggalin Reno.” Suaranya bergetar menahan tangis sementara Elletha
tersenyum puas walau harus menahan sakit dipergelangan tangannya akibat
pelintiran tadi.
Dengan napas terengah-engah, Marisa bangun dari tidurnya. Ia mimpi
buruk lagi. Mimpi yang memang kejadian nyata.
Tenggorokannya
terasa kering. Ketika melihat jam dinding yang ada di kamarnya, keningnya
berkerut heran. Jam setengah empat sore. Baru satu jam ia tidur dan ia sudah
dihantui mimpi buruk. Ia memutuskan untuk turun ke bawah mengambil segelas air
dan melanjutkan tidurnya. Tubuhnya masih terasa lelah padahal ia tidak
melakukan pekerjaan berat.
Sebelum turun
dari tempat tidurnya, ia menyempatkan diri untuk mengecek ponselnya. Benar saja,
lima panggilan tidak terjawab dari sebuah nomor yang tidak ia kenal masuk ke
ponselnya serta satu pesan dari nomor yang tak dikenal juga.
From: +6285767******
Sekali lagi lo coba deketin Reno, lo akan menuai badai untuk diri lo sendiri!
Sekali lagi lo coba deketin Reno, lo akan menuai badai untuk diri lo sendiri!
Seketika wajah
Marisa pucat pasi. Hanya ada satu nama yang melintas di otaknya saat ini,
ELLETHA!
Part 6 – Moreno’s POV
“What the hell—?” Moreno
menggeram marah pada gadis yang duduk di pangkuannya ini. Dari ekor matanya ia
melihat Marisa menyetop sebuah taksi yang lewat dan segera masuk ke dalamnya.
Ia yakin, Marisa pasti sedang menahan tangisnya tadi.
“Renooo.. Aku
kangen kamu,” ucap gadis tersebut. Nada suaranya manja dan entah kenapa hal itu
membuat Reno muak seketika. Dengan satu sentakan keras ia menyingkirkan
perempuan tersebut dari pangkuannya. Matanya berkilat-kilat marah. Namun gadis
tersebut tidak merasa takut.
“Renoooo,”
rajuk gadis itu lagi.
“Stop it, Elletha! Mau apa kamu ke sini,
hah?!”
Gadis yang
dipanggil Elletha itu memanyunkan bibirnya kesal. “Kamu nggak kangen sama aku?”
ia bertanya balik.
“You wish! Now, get out of my sight,”
Reno berteriak kesal.
“Tapi aku
masih kangen sama kamu, Reno!” Elletha mendelik kesal pada Reno yang sekarang
sudah berdiri di depannya.
Reno menggeram
marah. Perempuan lancang ini sukses merusak harinya dengan membuat emosinya
naik. Ia melangkah meninggalkan Elletha. Reno hampir membuka pintu mobilnya
ketika seseorang memeluknya dari belakang. Siapa lagi kalau bukan Elletha.
Moreno memejamkan matanya sesaat, berusaha menekan emosinya. Bagaimanapun juga,
Elletha adalah seorang perempuan. Pantang baginya untuk melayangkan bogem
mentahnya ke seorang perempuan. Dengan satu sentakan kasar ia melepaskan tangan
Elletha yang masih melingkari pinggangnya dari belakang. Tanpa melirik Elletha,
Moreno membuka pintu mobilnya dan segera memacu mobilnya meninggalkan taman.
“Kita lihat,
siapa yang bisa merebut hati kamu, Reno. Dan itu sudah pasti aku!” desisnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Reno mengacak rambutnya dengan kesal. Ia membanting tubuhnya asal
ke atas ranjangnya. Matanya menatap langit-langit kamar dengan pandangan
menerawang. “AAARRGGH!!” Tiba-tiba ia berteriak kesal.
“Bang
Renooooo!! Kenapa, sih, lo? Berisik tau! Gue jadi nggak konsen belajar, nih,”
gerutuan dari kamar sebelah langsung terdengar ketika ia selesai berteriak. Ia
bergumam tidak jelas tanpa memedulikan gerutuan adik perempuannya yang sedang
sibuk belajar.
“Sa..”
gumamnya lirih. Tiba-tiba perasaan itu datang kembali. Perasaan yang sama yang
dirasakannya ketika ia kehilangan Marisa dulu. Perasaan kehilangan yang membuat
hatinya kosong, hampa. Ia lelah. Bagaimanapun juga ia seorang manusia yang
mempunyai titik lelah. Tanpa sadar ia
memejamkan matanya dan terjun ke alam mimpi. Di mimpinya ia melihat Marisa yang
semakin menjauh dari pandangannya dan hilang.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cause I don't wanna lose you now
I'm lookin' right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart
Is a space that now you hold
Show me how to fight for now
And I'll tell you baby, it was easy
Comin' back into you once I figured it out
You were right here all along
It's like you're my mirror
My mirror staring back at me
I couldn't get any bigger
With anyone else beside of me
And now it's clear as this promise
That we're making two reflections into one
Cause it's like you're my mirror
My mirror staring back at me, staring back at me
I'm lookin' right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart
Is a space that now you hold
Show me how to fight for now
And I'll tell you baby, it was easy
Comin' back into you once I figured it out
You were right here all along
It's like you're my mirror
My mirror staring back at me
I couldn't get any bigger
With anyone else beside of me
And now it's clear as this promise
That we're making two reflections into one
Cause it's like you're my mirror
My mirror staring back at me, staring back at me
Justin
Timberlake – Mirrors
Dering suara ponsel membangunkan Moreno dari tidur nyenyaknya. Ia
mengerjap-ngerjapkan matanya di tengah kegelapan ruangan. Jam berapa ini?
Dengan malas ia menyambar ponselnya yang diletakan di atas meja nakas samping
ranjangnya. Ia melihat caller-ID pada layar ponselnya, nomor tak dikenal.
Reno
mengernyitkan keningnya heran namun tetap mengangkat panggilan tersebut.
“Halo..” sapanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
“Reno
sayaaaannngggg!” teriak orang di seberang sana.
Reno mengangkat
sebelah alisnya dan menatap layar ponselnya, memastikan kalau yang menelponnya
ini sama sekali tidak ia kenal. “Maaf, ini siapa ya?”
“Ih, kamu
tega!”
Lho?
“Saya tega
kenapa?” tanya Reno dengan tampang bego.
“Kamu nggak
inget suara aku?”
“Ini siapa
siih?” Reno mulai frustasi. Otaknya sedang tidak bisa diajak main teka-teki
seperti sekarang ini.
“Ini aku
Elletha, babe,” seru gadis di
seberang sana.
“Oh my God! Someone please kill me right now,
right here!” jerit Reno dalam hati. “Gimana bisa ini mak lampir ngedapetin
nomor gue, sih?” gerutunya pelan.
“Babe?”
“Elletha,
denger ya, gue bukan pacar lo! Jadi lo nggak berhak sama sekali buat panggil
gue dengan sebutan sayang, babe,
ataupun semacamnya dengan suara lo yang menjijikan itu!”
“Ren—”
“Walaikumsalam!”
Reno mengakhiri panggilan dengan kesal. Ia membanting ponselnya ke atas kasur
dan berjalan dengan sembarangan untuk menghampiri saklar lampu yang ada di
sebelah pintu kamar. Akibat tindakan sembrononya itu tanpa sengaja ia menabrak
kaki meja dan menyebabkan nyeri di tulang keringnya.
“Shit!” umpatnya kesal. Setelah mendapat
benda kecil yang ia cari, Reno segera menekan tombol saklar tersebut dan kamar
yang tadinya gelap berubah menjadi terang. Ia menyipitkan matanya untuk
beradaptasi dengan cahaya yang tiba-tiba menyerang matanya.
Tiba-tiba ia
teringat Marisa. Dengan cepat ia menyambar ponsel yang tadi ia banting ke atas
kasur dan menekan angka 9 pada speed-dial.
Sudah tiga
kali panggilannya di reject oleh Marisa. Ia memandang ponselnya dengan tatapan
yang tidak dapat diartikan.
Dengan wajah
frustasi ia mengetikan pesan kepada gadis yang menyita pikirannya beberapa hari
ini.
To: My Marisa
Marisa, aku gak akan nyerah buat ngedapetin kamu lagi!
Marisa, aku gak akan nyerah buat ngedapetin kamu lagi!
No comments:
Post a Comment