Haloooo, kembali lagi sama author yang absurd dan masih cere ini. Kali ini gue balik bawain cerita yang judulnya Hate That I Love You. Kalo boleh cerita dikit sih, cerita ini terinspirasi dari lagunya Rihanna ft. Ne-Yo dengan judul yang sama. And guess what! Gue dapet ide untuk bikin cerita ini ketika lagi 'nongkrong' di kamar mandi. Emang deh, nongkrong di kamar mandi itu salah satu tempat gue mencari dan mendapatkan inspirasi selain tempat ramai. Oh iya, kalo ada yang punya akun Wattpad juga bisa baca cerita gue di akun gue, unamenya auliaravina. Oke deh, cukup sekian cuap-cuapnya. Enjoy it, guys!
Part 7 – The Awkward Moment Is When...
“Babe,”
Stevent menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan Vannesa. Vannesa yang
merasa risih karena dibuntuti terus sejak tadi meliriknya dengan tatapan tajam.
“Sekali
lagi lo panggil gue pake sebutan babe,
ini sedotan melayang ke mata lo!” ancamnya.
“Ih,
kok kamu galak banget, sih, hon?” Steve mengubah panggilannya kepada Vannesa.
Ia berusaha menahan tawanya karena melihat wajah kesal Vannesa yang menurutnya
sangat menggemaskan.
“Stevent!”
“Apa?”
“Stop act like you are my boyfriend!”
“We’re a couple, right? Wajar dong kalo
gue manggil lo dengan panggilan-panggilan kesayangan itu,” jawab Stevent dengan
polosnya.
Vannesa
mendengus mendengar jawaban Steve. Ia kembali meminum jus jeruknya yang tersisa
setengah gelas lagi. Tanpa mereka berdua sadari, seorang gadis mengawasi
tingkah mereka tidak jauh dari tempat mereka duduk. Gadis tersebut mengepalkan
tangannya di atas meja kantin. Matanya berkilat marah melihat Stevent yang
merayu Vannesa.
“Steveeee!!
Bisa diem nggak?! Petakilan banget, sih,” Nessa bersungut-sungut melihat Steve
yang menggodanya dengan gombalan-gombalan absurd
dan membuatnya ingin muntah.
“Nessa
cantiiikk, ntar pulang sekolah jalan, yuk?” Steve mendekatkan wajahnya ke
pundak Nessa sambil memainkan alisnya naik turun.
“Ogah,”
jawab Vannesa cepat.
“Jawabnya
cepet amat, babe. Nggak mau
dipikir-pikir dulu, hmm?”
“Males.”
“Oke,
deh. Kalo kamu nggak mau jalan itu artinya aku yang main ke rumah kamu, yaa..”
“No way—!”
“Yes way,” sela Stevent cepat. Wajahnya
dihiasi senyum jail dan membuat Vannesa bergidik ngeri.
******************************************************************************
“Hai, babe,” Vannesa terhuyung sedikit ke belakang ketika tiba-tiba
Stevent menghalangi jalannya yang hendak melangkah menuju gerbang sekolah. Hari
ini supir yang khusus mengantar dan menjemputnya sedang menggantikan tugas Pak
Min—supir pribadi sang Mama—yang sedang sakit.
“Ck!
Bisa nggak, sih lo nggak ganggu gue sehariii aja?” tanya Vannesa kesal.
“Nggak
bisa,” jawab Steve dengan polosnya. Cengiran lebar menghiasi wajahnya melihat
Vannesa menghentak-hentakkan kakinya ke tanah.
“Yuk,”
ajak Steve dan menggandeng tangan Vannesa menuju tempat mobilnya diparkir.
Vannesa
menatap Stevent dengan heran. “Loh? Mau kemana?”
“Pulang,
gue kan udah bilang tasi pas istirahat mau anterin lo pulang. Lupa?”
“Nggak
usah, gue bisa pulang sendiri, kok.” Vannesa melepaskan tangannya yang
digenggam Steve—dan sialnya Stevent makin mengeratkan genggamannya pada tangan Vannesa.
“Steve
lep—”
“Lo
pulang bareng gue,” ucap Stevent tegas tak terbantahkan. Vannesa merengut sebal
dan mengikuti Stevent yang berjalan ke arah parkiran.
“Hai,
Steve,” seorang gadis yang lebih tinggi beberapa senti dari Vannesa tiba-tiba
mendekati Stevent.
“Hai,
Wen, tumben belum pulang?” sapa Steve dengan gayanya yang khas—cool dan cuek.
“Iya,
nih. Gue hari ini nggak bawa mobil, anterin gue pulang ya, Steve?” Wenda
berkata dengan nada yang dibuat-buat manja. Vannesa memperhatikan gadis di
hadapannya dengan seksama.
Who’s she?
“Sorry,
Wen, gue udah ada janji sama pacar gue mau anterin dia pulang.” Tolak Stevent
halus.
“Nggak
apa-apa kok, lo bisa anter pacar lo ke rumahnya dulu. Abis itu lo bisa anter
gue ke apartemen gue, gimana?” tanya Wenda.
“Duh,
gimana ya, gue hari ini ada rencana mau main ke rumah Vannesa. Ya, kan, babe?” Steve menoleh kepada Vannesa yang
masih memerhatikan Wenda dengan pandangan kesal.
Vannesa
melongo mendengar ucapan Stevent. “Ha? Kan lo cuma mau anterin gue doang, kak!”
Tolak Vannesa.
“Rencana
berubah, gue mau mampir di rumah lo. Yaa sekedar silaturahmi sama calon
mertua,” jawab Steve.
Wenda
menatap Vannesa dengan sinis, kesal merasa tidak dianggap.
“QUÉ?! Futuros suegros? You wish!”
Vannesa memukul lengan Stevent seraya menekuk wajahnya. [APA?! Calon mertua?]
“Gue
suka kalo lo ngomong Spanish, babe. It sounds sexy,” Steve mengerling jahil
pada Vannesa. Mereka berdua sibuk berbicara tanpa memperdulikan Wenda yang rasa
kesalnya sudah mencapai ubun-ubun.
“Steve,”
ucap Wenda berusaha menyela percakapan keduanya.
Stevent
menoleh, “Ya?”
“Gue
boleh nebeng nggak, nih?”
Hati
kecil Vannesa berteriak kesal mendengar Wenda terus berusaha agar Stevent mau
mengantarnya pulang. Dasar cewek nggak
tau malu!
Vannesa
tidak tahu apa penyebab ia bisa merasa sekesal ini. Seingatnya ia tak pernah
suka pada Stevent. Gue nggak mungkin
cemburu, kan? Pertanyaan tersebut terus ia ulang di benaknya sampai ketika
Steve mengucapkan sesuatu yang membuyarkan lamunannya.
“Lo
pulang naik taksi aja emang nggak bisa, ya?” Steve menahan rasa kesalnya akibat
ulah Wenda yang terus mendesaknya. Ia tidak habis pikir, kenapa cewek ini terus
memaksanya agar ia antar pulang. Memangnya di luar sana taksi sudah musnah hingga
harus dia yang mengantarnya pulang?
“Ta..tapi—”
“Tuh
ada Fiko, dia bawa motor. Lo bisa nebeng sama dia. Tenang aja, Fiko jomblo,
kok.” Ucap Steve santai. Ia menunjuk Fiko, teman sekelasnya yang terkenal kutu
buku dan kuper walaupun mempunyai wajah yang bisa dibilang lumayan.
Wenda
berdecak kesal. Ia gondok setengah mati dengan sikap Stevent yang menolaknya
sejak tadi. Si Vannesa ini pake pelet
apa, sih, sampe si Stevent betah banget nempel sama dia? Ia bertanya-tanya
dalam hati. Dengan kesal, Wenda menghentakan kakinya ke tanah dan berjalan
menuju gerbang meninggalkan Stevent dan Vannesa yang memperhatikan tingkahnya
dengan heran.
******************************************************************************
“Assalamu’alaikum,” Vannesa
mengucapkan salam seraya mendorong pintu utama rumahnya.
“Duduk
dulu aja, kak. Gue mau ganti baju dulu. Mau minum apa?” tanyanya pada Stevent
yang sedang menghempaskan badannya ke atas sofa beludru berwarna cokelat muda
yang ada di sana.
“Air
putih dingin aja.”
“Oke,
tunggu bentar, ya.”
“Take your time, honey.” Stevent
mengerling jahil pada Vannesa yang hanya dibalas cibiran oleh gadis tersebut.
Vannesa
melangkah menuju pantry dan mengambil
sebotol air mineral dari dalam kulkas. Ia melihat Lucia yang sedang membuat
pancake dibantu Bik Icah.
“Aku
mau dong pancakenya,” pinta Vannesa. Ia menuang air mineral ke dalam sebuah gelas
untuk Steve.
“Don’t worry, sweetie. I’ve make for you, the
one that use honey on it.” Jawab Lucia.
“Umm..
Bikin satu lagi, dong. Ada temen aku di depan.”
“Temen
apa pacar, Non?” goda Bik Icah. “Barusan Bik Icah liat yang lagi duduk di depan
cowok, tuh.”
“Ha?
Eh..” Vannesa gelagapan digoda seperti itu oleh Bik Icah. Wajahnya bersemu
merah.
“Haaaa, you are blushing. Itu berarti
tebakan Bik Icah bener, dong?” Lucia bersuara.
“Pokoknya
aku pesen pancake satu lagi ya, pake topping ice cream vanilla di atasnya,” ucap Vannesa sebelum melesat keluar
dari pantry.
“Nih,
kak, minum dulu.” Vannesa menyodorkan segelas air mineral dingin pada Stevent. “Gue
ke kamar dulu, ya,” pamitnya yang hanya dibalas anggukan oleh Steve.
Sepeninggal
Vannesa, Stevent sibuk meneliti foto-foto yang terpajang di dinding dan meja
yang terletak di sudut ruangan. Steve mulai terbiasa dengan rumah ini walaupun
ia baru tiga kali memasuki rumah keluarga Vannesa.
Tanpa
Steve sadari, Vannesa sudah berdiri di belakangnya. “Lo lagi ngapain, kak?” Vannesa
bertanya menyelidik.
“Eh!
Astagfirullah, kamu bikin aku kaget aja, babe!”
Stevent berbalik untuk melihat Vannesa.
PRAANGG!
Tanpa
sengaja tangan Steve menyenggol pigura yang ada di atas meja. Pigura tersebut
terjatuh dan kacanya pecah. Vannesa langsung berjongkok untuk membereskan pecahan
kaca yang ada agar tidak melukai orang lain. Sedikit rasa kesal muncul di
hatinya karena Steve kurang berhati-hati.
“Eh,
sorry, Ness. Gue nggak sengaja,” ucap Steve panik. Ia membantu Vannesa
membereskan pecahan kaca yang tercecer.
“Aww..”
Vannesa merintih kesakitan karena jari tangan kanannya terkena pecahan kaca
yang tajam. Stevent langsung menghampirinya dan mengisap darah yang keluar dari
jari telunjuknya. Vannesa merasa ada yang berdesir di hatinya ketika Stevent
melakukan hal tersebut padanya. Ia menatap Stevent dalam diam.
“Nah,
darahnya udah nggak keluar lagi. Bersihin dulu di air mengalir...” Stevent
mengangkat kepalanya dan pandangannya langsung tertuju ada mata Vannesa.
Keduanya sama-sama terdiam. Jarak mereka sangat dekat satu sama lain.
“Ng..
Gue ke belakang dulu, deh, kak.” Vannesa yang pertama kali memecah keheningan
di antara mereka. Suasana canggung meliputi mereka berdua.
“Eh,
ya, udah. Abis itu ambil kotak P3K, ya, biar gue obatin.”
Vannesa
tidak langsung beranjak dari tempatnya, melainkan kembali diam dan menatap
Stevent.
“Apa
lagi?” tanya Steve bingung.
“Eh,
oh, eng-enggak, kok.” Vannesa segera beranjak dari posisinya dan berlari menuju
kamar mandi yang ada di dekat pantry.
Di
dalam kamar mandi, Vannesa langsung membasuh tangannya seraya menenangkan degup
jantungnya.
What’s wrong with me?
*Note: DO NOT PLAGIARIZE MY WORK!