Saturday, June 16, 2012

Short Story

Hahhhhhhhhhhh akhirnya kelar juga ini cerpen. Originally made by me. Cerpen ini yang mau gue ikutin kontes #NulisAsyik di anakasyik.acerid.com yang diadain oleh @AnakAsyik. Khusus buat umur 13-22 tahun doang.
Dan cerpen gue ini banyaknya 1000 words. nggak lebih, pas malah B) sesuai ketentuan. Oke deh, langsung aja yah yang mau baca nih cerpen. Jangan lupa tinggalkan jejak dengan menulis kritik atau saran tentang cerpen ini. Selamat Membaca :)



‘Till We Meet Again
oleh: Ravina Aulia

Rabu, 6 Juni.
            Hari ini hari terakhir Karen dan teman-temannya bisa berkumpul di sekolah mereka, SMP Tarantina. Karen yang sudah sangat senang bercampur sedih karena harus berpisah dengan teman-teman SMP-nya tidak menyadari sepasang mata yang menatapnya dari samping—mata milik Rangga lebih tepatnya—menatapnya dengan kesedihan yang luar biasa. Ketika Karen berbalik untuk  menatap cowok itu, Rangga langsung menyambutnya dengan senyum sedih.
            “Lo kenapa, Ngga? Kok mukanya kayak orang sedih gitu?” tanya Karen penasaran. Sesaat ia tatapi cowok yang sudah menjadi teman dekatnya sejak awal masuk TK ini, tepat dimanik matanya. Namun  Karen tetap tidak dapat menemukan jawaban untuk pertanyaannya barusan. Akhirnya Karen menyerah dan hanya menunggu sampai Rangga mau berbicara dengannya.
            “Ren, gue boleh tanya sesuatu nggak?” akhirnya Rangga angkat bicara setelah keheningan panjang yang menyelimuti mereka.
           
“Sure, what’s that?”  jawab Karen dengan tingkat keheranan yang sudah di puncak. Basa-basi, eh? Bukan Rangga banget! Pasti ada yang dia sembunyiin dari gue, batin Karen.
            “ Sedih nggak sih kalo kita ninggalin orang yang kita sayang untuk pergi jauh dan dalam jangka waktu yang sangat lama?”
            “Ya sedih lah, Ngga. Waktu ditinggal Mama ke Meksiko untuk nemenin Papa
bussines trip selama 2 minggu aja gue pengen nangis. Apalagi untuk waktu yang nggak tentu.”
            “Lo bakal sedih kayak gitu nggak kalo gue pergi?” tanya Rangga seraya memandang beberapa teman-temannya yang sibuk “narsis” di depan kamera digital.
            “Eh? Ya sedih dong. Emang lo mau kemana sih? Kok kayaknya serius banget?” tanya Karen mulai tak sabar dengan sikap Rangga saat ini.
            “Gue mau ikut orang tua gue ke New York, lanjutin sekolah disana. Bokap gue dipindah tugaskan ke NY, dan gue berikut adek gue mau nggak mau mesti ikut.” jawab Rangga.
            “
WHAT!? NY?! BERAPA LAMA, NGGA?” tanpa sadar Karen berteriak saat mendengar Rangga harus ikut ke NY, membuat beberapa temannya menatap mereka heran. “Kamu nggak akan lupain aku kan?” tanya Karen lagi.
            Karena tak suka menjadi bahan tontonan orang banyak, Rangga menarik cewek ini dan membawanya ke halaman belakang sekolah, setelah mengatur napasnya ia mulai menjawab pertanyaan Karen, “Untuk berapa lamanya gue nggak tau. Tapi yang pasti...” Rangga menggantung kalimatnya seraya memandang wajah cewek dihadapannya ini. “Gue janji, gue nggak akan lupai elo. Gue bakal balik kesini lagi. Nyusul elo.” jawab Rangga yakin.
           
“Really?” Karen masih tak yakin dengan janji yang diucapkan oleh Rangga. Ia mulai menitikan air mata yang tak sanggup ditahannya.
           
“I promise.”

Karen masih mengingat hari itu. Hari dimana untuk terakhir kalinya ia berhadapan dengan sahabatnya, Rangga. Karena keesokan harinya cowok itu dan keluarganya langsung terbang ke New York.
            Sudah 8 tahun ia lost contact dengan Rangga. Seperti apa rupa Rangga sekarang? Apakah ia masih tampan seperti dulu? Apakah ia masih bandel seperti dulu? Apakah ia masih ingat rasa kue bolu kukus— kue kesukaan Rangga—buatan Mamanya? Begitu banyak pertanyaan yang bersarang di otaknya kini, tapi tetap tak terjawab.
            Lagi serius-seriusnya melamun tiba-tiba pintu kamar terbuka dan masuklah Vinka, adiknya yang umurnya hanya terpaut 4 tahun lebih muda darinya. Wajahnya yang kusut bikin Karen ingin tertawa ngakak melihatnya. Namun, ia tahu pasti ada masalah pada diri adiknya ini. Terpaksa ia telan semua tawanya.
            “Kenapa lo? Masuk kamar orang tuh ketok dulu atuh, neng.” sambut Karen seraya berjalan ke arah jendela kamarnya.
            “Ih Kak Karen, gue kan bukan orang baru kali di rumah ini—gue udah kenal lo dari lahir pula!—jadi wajar dong kalo nggak ngetok dulu?” sahut Vinka masih dengan wajah kesalnya.
            “Hhh up to you lah, yang jelas itu tuh nggak sopan. Awas kalo ngulangin lagi!” ancam Karen.
            “Iya Kak, maap.”
            “Trus lo mau ngapain ke sini?” tanya Karen.
            “Mau curhaaaaaaat!” jerit Vinka sambil memeluk boneka Winnie The Pooh kesayangan kakaknya.
            “Yaudah, sok atuh cerita ada apa?”
            “Gue bete banget, Kak. Masa si Frida nyebarin gosip kalo aku kangen sama si Rendy di Twitter. Padahal aku udah lupa kalo pernah punya mantan yang namanya Rendy..” dan mengalirlah “curhatan-hati” Vinka tentang temannya yang nyebarin gosip nggak bener dan bikin hubungan dia dengan si pacar jadi berantakan.
            “Yaudah, kamu sabar aja. Jangan bales perbuatan dia karena itu sama saja mengotori pikiran kamu dengan hal yang nggak berguna. Lebih baik kamu perbaiki hubungan kamu dengan Riko, jelasin semuanya dengan kepala dingin.” Karen menasehati adiknya.
            “Iya ,Kak. Tapi aku tuh kesel banget! Dinda yang deket sama aku sampe nuduh aku yang engga-engga gara-gara berita sialan itu! Aku tau Frida kayak gitu tuh karena masih sebel aku jadian sama Riko.”
            “Iya, Kakak tau kok gimana rasanya dituduh yang nggak bener. Pokoknya kamu harus selalu inget pedoman ber-social media yang bener yang pernah Kakak ajarin ke kamu. Masih inget kan?”
            “Masih lah, kayak contohnya; menyampaikan informasi yang sesuai keadaan dan benar juga nggak menyinggung orang lain—kayak yang aku alamin sekarang!” jawab Vinka. Emosinya sudah reda, tapi rasa kesalnya terhadap Frida belum hilang 100%.
            Tiba-tiba Vinka seperti teringat sesuatu, “Eh, Kak. Gue baru inget, kemarin siang waktu elo pergi ada cowok dateng ke rumah. Nyariin elo.”
            Kedua alis Karen menyatu mendengar ini, “Cowok? Siapa namanya?”
            Vinka nampak berpikir—mengingat-ingat—sejenak sebelum menjawab, “Kalo nggak salah sih namanya Rangga, dia bilang dia temen lo waktu kecil dulu. Temen deket malah. Emang lo pernah punya temen deket cowok ya, Kak? Kok gue nggak inget sih?—mana ganteng banget lagi orangnya!” jelas Vinka. “Oh iya, karena kemaren lo nggak ada di rumah jadi gue suruh dia buat dateng lagi ke sini hari ini. Tau deh dia jadi dateng apa nggak.” tambah Vinka sambil mengedikan kedua bahunya.
            “Non Karen, ada tamu di luar.” Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dan terdengar suara pembantu di rumah Karen memanggilnya.
            “Siapa, Mbok?” tanya Karen begitu pintu terbuka.
            “Nggak tau, Non.”
            “Oh, yaudah. Makasih ya, Mbok.”
            “Iya, Non.”
            Ketika Karen sudah berada di ruang tamu rumahnya yang luas, ia langsung menemukan seorang cowok berbadan tegap tengah melihat-lihat koleksi foto yang ada di dinding ruang tamunya.
            “Oh, hai. Karen.. Masih inget gue?” sapa cowok ini begitu balik badan.
            “Siapa ya?” Karen masih berusah mengingat siapa gerangan cowok dihadapannya ini.
            “Rangga. I’m back, Ren.” jawab cowok ini sambil tersenyum.

***
*Thanks for reading and don't forget to leave your comment.