"HE IS MINE!"
yak, judul kelar sekarang tinggal isinya. welcome and happy reading :)
HE IS MINE!
Satu
“MA, Bik Nah
mana? Kok nggak keliatan? Aku mau minta disiapin bekel nih.”
“Pa, hari ini Papa libur kan? Nanti
temenin Mama besuk anaknya Bu Rita ya Pa?” pinta Mama ke Papa.
“Lho? Bu
Rita? Istrinya Pak Danang bukan? Yang tetangga baru itu?” jawab Papa sambil
mengoleskan selai kacang ke roti untuk sarapan pagi kali ini.
“Iya.” sahut
Mama singkat.
“Emang
anaknya sakit apa?”
“Kata ibu-ibu yang tadi ketemu Mama
di tukang sayur sih kena DBD. Kamu hati-hati ya, La, soalnya dua hari yang lalu
Tante Isma juga masuk rumah sakit gara-gara DBD. Lagi musim kayaknya.” kali ini
Mama Alla berbicara sambil menatap anak sulungnya yang baru tiga minggu
menduduki bangku kelas sepuluh di SMA Rajawali. Sekolah yang lumayan eksis dan
diakui keberadaannya, lagipula untuk masuk ke sekolah ini butuh perjuangan yang
“kuli banget”! Soalnya persaingannya ketat banget dan Alla—Kallasandra Franita—beruntung
karena menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang masuk ke sekolah itu.
“Maaaah, aku nanya kok dicuekin aja
sih? Malah asyik sendiri sama Papa.” Alla mulai kesal karena Mamanya tidak
menggubris pertanyaan pertamanya pagi ini.
“Lho? Emang
kamu nanya apa?” tanya sang Mama.
“Tuh kaaaaaan,” Alla melengos malas.
“Itu lho, Bik Nah mana? Aku mau bawa bekel aja hari ini, lagi males ke kantin.”
ulang Alla.
“Tapi Bik
Nah baru aja berangkat ke tukang sayur. Jadinya belum masak apa-apa. Gimana
kalo Mama gorengin ayam bumbu yang ada di kulkas? Sekalian untuk bekal si
Dinda.” tanya Mama Alla sambil beranjak dari kursi yang didudukinya sedari
tadi.
“Terserah
Mama deh. Apa aja, yang penting Alla bawa bekel.” jawab Alla.
“Lho?
Tumbenan amat kamu mau bawa bekel? Biasanya kamu kan paling males bawa bekel.
Alasannya berat-beratin tas.” sindir sang Papa.
“Kantin rame
terus Pa, daripada Alla rusuh pas beli makan mending Alla bawa aja dari rumah.
Hemat duit jajan pula, jadi duit sisa hari ini bisa Alla tabung. Lagipula si
Raina ngajak anak-anak cewek di kelas bawa bekel masing-masing dari rumah trus
makan bareng deh pas istirahat.” jelas Alla panjang lebar.
“Yaudah kalo gitu. Duit jajan kamu
Papa kurangin ya? Kan bisa hemat duit Papa juga.” Kemudian Papa Alla mulai
tertawa geli melihat wajah cemberut anak sulungnya ini. “Nggak kok, nggak Papa
kurangin. Bercanda, La. Tapi Papa seneng kok kamu mau nabung dari sekarang.
Inisiatif kamu sendiri lagi. Asal uang hasil tabungan kamu itu digunakan untuk
yang baik-baik ya.”
Setelah menasehati putri sulungnya
Papa beranjak ke garasi. Hari ini Papa Alla mengantarkan kedua
putrinya—Alla dan Dinda—ke sekolah
mereka masing-masing. Alla jelas makin girang karena itu berarti uang sakunya
hari ini bisa utuh sampe istirahat kedua nanti.
“KAK ALLAAAAA? TOLONG BIKININ ROTI
GUE DONG!? GUE BARU INGET ADA PR YANG BELOM GUE KERJAIN. GUE LAGI KEBURU-BURU
NIH.” tiba-tiba adik Alla—Dinda yang usianya hanya terpaut satu tahun darinya—berteriak
dari kamarnya di lantai dua dan mengagetkan seisi rumah.
“Iye iyee, bentaaaaaar.” sahut Alla
kesal. Bukan apa-apa, teriakan adiknya tadi hampir membuatnya tersedak roti
yang sedang sibuk ia kunyah. Tak berapa lama sarapan Dinda selesai dibuat dan
Alla langsung mengantarkannya ke kamar Dinda.
“Nih sarapan lu. Lain kali kalo
teriak tuh volume dikecilin dikit. Gue hampir keselek gara-gara teriakan lu
tadi tau!”
“Yeeee, lu
tuh hidup 15 tahun tapi ngapain aja sih? Dimana-mana orang teriak itu ya pasti
volume suaranya tinggi tau. Ck ah, jadi salah kan tuh. Lu siih,” Dinda
mendecakkan lidahnya dengan kesal karena ia salah memasukkan angka dan itu
harus membuatnya mengulang perhitungan dengan rumus yang ngejelimet.
“Lu pasti lagi ngerjain fisika ya?
Sinilah biar gue bantu. Jadi kita nggak telat berangkatnya.” Alla mulai membaca
soal terakhir yang dikerjakan adiknya tadi dan menghitung dengan cepat. Soal
seperti itu memang sudah menjadi santapan sehari-hari Alla sewaktu di SMP dulu
karena ia memang menaruh minat lebih pada pelajaran fisika yang bagi sebagian
orang “menyeramkan” dan penuh “ranjau” karena kalau tidak teliti sedikit saja
bisa berakibat fatal. Selama di SMP dulu pun nilai fisikanya termasuk bagus.
“Ahh, makasih Kak Alla. You’re
really my hero. Thank you, sist. I owe you big time!” sahut Dinda dengan senang
hati.
“Jangan “I
owe you big time” dong ngomongnya.” komentar Alla dengan mata tetap tertuju ke
buku di depannya dan tangan mencoret-coretkan angka pada kertas kosong.
“Trus lu
maunya apa?” tanya Dinda dengan kening sedikit berkerut. Ia pun beranjak menuju
cermin dan menyisir rambutnya serta membubuhkan bedak bayi di wajah dan
lehernya. Terakhir ia menyemprotkan cologne
bayi ke baju dan lehernya. Lalu dengan gerakan cepat ia habiskan sarapannya
pagi ini.
“Emm...” Alla nampak berpikir
sebentar lalu menutup buku tugas adiknya yang telah ia selesaikan dengan sangat
teliti. “I owe you big cake!” teriaknya dengan nada girang lalu mulai tertawa
saat dilihatnya adiknya itu melotot ke arahnya. “Nggak, bercanda Diiiin. Jangan
ngambek atuh. Tuh buku lu, udah selesai. Masukin ke tas trus langsung turun
jangan lama-lama. Hari ini kita dianter Papa.” ujar Alla sembari melangkah santai
keluar kamar sang adik.
“Yes! Duit gue hari ini masih awet
deh sampe jam pulang nanti.” sahut Dinda senang.