Thursday, April 19, 2012

Short Story

Akhirnya kelar juga satu bab nih cerita (duilee, baru satu bab udah bangga) hehe. Originally made by me, yep gua iseng-iseng nih bikin cerita, dan sekarang gue lagi bikin kelanjutannya di bab dua, awalnya sih susaaaaah banget nyari judulnya. finally, setelah bertapa tujuh hari tujuh malem di kamar gue nemu juga judul yang pas. #jengjengjeng

"HE IS MINE!"

yak, judul kelar sekarang tinggal isinya. welcome and happy reading :)


HE IS MINE!



Satu
“MA, Bik Nah mana? Kok nggak keliatan? Aku mau minta disiapin bekel nih.”
            “Pa, hari ini Papa libur kan? Nanti temenin Mama besuk anaknya Bu Rita ya Pa?” pinta Mama ke Papa.
“Lho? Bu Rita? Istrinya Pak Danang bukan? Yang tetangga baru itu?” jawab Papa sambil mengoleskan selai kacang ke roti untuk sarapan pagi kali ini.
“Iya.” sahut Mama singkat.
“Emang anaknya sakit apa?”
            “Kata ibu-ibu yang tadi ketemu Mama di tukang sayur sih kena DBD. Kamu hati-hati ya, La, soalnya dua hari yang lalu Tante Isma juga masuk rumah sakit gara-gara DBD. Lagi musim kayaknya.” kali ini Mama Alla berbicara sambil menatap anak sulungnya yang baru tiga minggu menduduki bangku kelas sepuluh di SMA Rajawali. Sekolah yang lumayan eksis dan diakui keberadaannya, lagipula untuk masuk ke sekolah ini butuh perjuangan yang “kuli banget”! Soalnya persaingannya ketat banget dan Alla—Kallasandra Franita—beruntung karena menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang masuk ke sekolah itu.
            “Maaaah, aku nanya kok dicuekin aja sih? Malah asyik sendiri sama Papa.” Alla mulai kesal karena Mamanya tidak menggubris pertanyaan pertamanya pagi ini.
“Lho? Emang kamu nanya apa?” tanya sang Mama.
            “Tuh kaaaaaan,” Alla melengos malas. “Itu lho, Bik Nah mana? Aku mau bawa bekel aja hari ini, lagi males ke kantin.” ulang Alla.
“Tapi Bik Nah baru aja berangkat ke tukang sayur. Jadinya belum masak apa-apa. Gimana kalo Mama gorengin ayam bumbu yang ada di kulkas? Sekalian untuk bekal si Dinda.” tanya Mama Alla sambil beranjak dari kursi yang didudukinya sedari tadi.
“Terserah Mama deh. Apa aja, yang penting Alla bawa bekel.” jawab Alla.
“Lho? Tumbenan amat kamu mau bawa bekel? Biasanya kamu kan paling males bawa bekel. Alasannya berat-beratin tas.” sindir sang Papa.
“Kantin rame terus Pa, daripada Alla rusuh pas beli makan mending Alla bawa aja dari rumah. Hemat duit jajan pula, jadi duit sisa hari ini bisa Alla tabung. Lagipula si Raina ngajak anak-anak cewek di kelas bawa bekel masing-masing dari rumah trus makan bareng deh pas istirahat.” jelas Alla panjang lebar.
            “Yaudah kalo gitu. Duit jajan kamu Papa kurangin ya? Kan bisa hemat duit Papa juga.” Kemudian Papa Alla mulai tertawa geli melihat wajah cemberut anak sulungnya ini. “Nggak kok, nggak Papa kurangin. Bercanda, La. Tapi Papa seneng kok kamu mau nabung dari sekarang. Inisiatif kamu sendiri lagi. Asal uang hasil tabungan kamu itu digunakan untuk yang baik-baik ya.”
            Setelah menasehati putri sulungnya Papa beranjak ke garasi. Hari ini Papa Alla mengantarkan kedua putrinya—Alla  dan Dinda—ke sekolah mereka masing-masing. Alla jelas makin girang karena itu berarti uang sakunya hari ini bisa utuh sampe istirahat kedua nanti.
            “KAK ALLAAAAA? TOLONG BIKININ ROTI GUE DONG!? GUE BARU INGET ADA PR YANG BELOM GUE KERJAIN. GUE LAGI KEBURU-BURU NIH.” tiba-tiba adik Alla—Dinda yang usianya hanya terpaut satu tahun darinya—berteriak dari kamarnya di lantai dua dan mengagetkan seisi rumah.
            “Iye iyee, bentaaaaaar.” sahut Alla kesal. Bukan apa-apa, teriakan adiknya tadi hampir membuatnya tersedak roti yang sedang sibuk ia kunyah. Tak berapa lama sarapan Dinda selesai dibuat dan Alla langsung mengantarkannya ke kamar Dinda.
            “Nih sarapan lu. Lain kali kalo teriak tuh volume dikecilin dikit. Gue hampir keselek gara-gara teriakan lu tadi tau!”
“Yeeee, lu tuh hidup 15 tahun tapi ngapain aja sih? Dimana-mana orang teriak itu ya pasti volume suaranya tinggi tau. Ck ah, jadi salah kan tuh. Lu siih,” Dinda mendecakkan lidahnya dengan kesal karena ia salah memasukkan angka dan itu harus membuatnya mengulang perhitungan dengan rumus yang ngejelimet.
            “Lu pasti lagi ngerjain fisika ya? Sinilah biar gue bantu. Jadi kita nggak telat berangkatnya.” Alla mulai membaca soal terakhir yang dikerjakan adiknya tadi dan menghitung dengan cepat. Soal seperti itu memang sudah menjadi santapan sehari-hari Alla sewaktu di SMP dulu karena ia memang menaruh minat lebih pada pelajaran fisika yang bagi sebagian orang “menyeramkan” dan penuh “ranjau” karena kalau tidak teliti sedikit saja bisa berakibat fatal. Selama di SMP dulu pun nilai fisikanya termasuk bagus.
            “Ahh, makasih Kak Alla. You’re really my hero. Thank you, sist. I owe you big time!” sahut Dinda dengan senang hati.
“Jangan “I owe you big time” dong ngomongnya.” komentar Alla dengan mata tetap tertuju ke buku di depannya dan tangan mencoret-coretkan angka pada kertas kosong.
“Trus lu maunya apa?” tanya Dinda dengan kening sedikit berkerut. Ia pun beranjak menuju cermin dan menyisir rambutnya serta membubuhkan bedak bayi di wajah dan lehernya. Terakhir ia menyemprotkan cologne bayi ke baju dan lehernya. Lalu dengan gerakan cepat ia habiskan sarapannya pagi ini.
            “Emm...” Alla nampak berpikir sebentar lalu menutup buku tugas adiknya yang telah ia selesaikan dengan sangat teliti. “I owe you big cake!” teriaknya dengan nada girang lalu mulai tertawa saat dilihatnya adiknya itu melotot ke arahnya. “Nggak, bercanda Diiiin. Jangan ngambek atuh. Tuh buku lu, udah selesai. Masukin ke tas trus langsung turun jangan lama-lama. Hari ini kita dianter Papa.” ujar Alla sembari melangkah santai keluar kamar sang adik.
            “Yes! Duit gue hari ini masih awet deh sampe jam pulang nanti.” sahut Dinda senang.