Part 3 – Kembali?
Marisa sedang memikirkan masa lalunya ketika Deka masuk ke
kamarnya dan menepuk pundaknya pelan. Ia tersentak kaget dan memukul lengan
cowok itu.
"Apa-apaan
sih, lo? Ngagetin aja!"
"Duileeh,
yang kemaren abis ketemu mantan bawaannya ngomel-ngomel mulu. Makanya, Mbak,
jangan kebanyakan bengong. Gue ngetok pintu berkali-kali jadi gak kedengeran,
kan? Tadinya gue kira lo lagi tidur, pas gue buka noh pintu keramat gak taunya
elo lagi bengong-bengong jelek sambil liatin jendela," jelas Deka panjang
lebar.
Marisa
berdecak sebal dan kembali ke posisi semulanya; duduk di kursi belajarnya
dengan memeluk lutut.
"Ya
elah, gitu aja ngambek. Ada yang nyariin lo, tuh, di bawah."
Marisa
menolehkan kepalanya ke arah si adik sableng ini. "Siapa?" tanyanya
malas. Dia sedang tidak ingin bertemu siapapun hari ini.
Deka nyengir
tiga jari dan mengedipkan sebelah matanya nakal. "Tamu spesial."
"Spesial..spesial.
Lo kata martabak telor! Udah, ah, bilang aja gue lagi tidur dan nggak bisa
diganggu siapapun."
"Ya
elah, Mbak. Temuin dulu, ngapa? Ntar nyesel, lho."
"Gue
males, Dekaaaaaaa. Udah sana. Get out!" perintahnya galak.
Tanpa disangka-sangka,
Deka menarik lengan kirinya sehingga membuat Marisa kehilangan keseimbangan. Ia
segera memeluk tubuh Deka yang berada tepat di hadapannya agar tidak terjun ke
lantai. Deka hanya menampilkan cengirannya ketika Marisa melemparkan tatapan sinis
padanya.
"So? Mau
jalan sendiri atau gue gendong?" Deka menaikan sebelah alisnya dan
tersenyum miring.
Marisa
berdecak kesal dan melepaskan dirinya dari pelukan si adik. "Iya, iya. Gue
jalan sendiri ke bawah! Lo nggak perlu repot-repot gendong gue buat ketemu tamu
gak penting itu," serunya kesal. Ia heran sendiri, mau-maunya dia menuruti
keinginan adik gelonya ini.
"Tunggu!"
"Apa
lagiiii?" Marisa memutar badannya kesal.
"Cuci
muka dulu ngapa, Mbak? Gak nyadar apa tuh muka udah kayak orang kurang kasih
sayang pacar? Mana rambut awut-awutan nggak jelas begitu pula!"
"Ya
ampun, Deka. Gue mau nemuin tuh tamu aja udah syukur! Ribet amat mesti
rapi-rapi dulu. Emang sepenting dan sespesial apa sih tuh tamu?" tanya
geram. Ini bocah kemauannya banyak
banget, sih!
Tanpa banyak
kata, Deka menyeret Marisa menuju toilet dan memerintahkan sang kakak untuk
mencuci mukanya serta merapikan rambutnya yang tergerai menutupi punggung.
“Deka, I’m your sister! Underline it! You
can’t govern me to do something that I don’t wanna do,” ucapnya kesal. Deka
hanya berdiam diri dan menampakan wajah memelasnya.
“Please, Mbak. Untuk kali ini aja, lo
turutin kemauan gue,” pintanya memelas. Marisa berdecak kesal untuk kesekian
kalinya dan membanting pintu kamar mandi tepat di depan wajah sang adik. Deka
hanya mengangkat bahunya dan terkekeh kecil.
Untuk berjaga-jaga kalau-kalau Marisa keluar
tanpa merapikan penampilannya, Deka berdiri di depan pintu kamar mandi. Tak
lama kemudian suara air yang mengucur kencang dari kran air terdengar. Deka
yang menunggu di luar menyunggingkan senyum misteriusnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Deka menuruni tangga disusul Marisa yang berjalan malas di
belakangnya. Wajahnya terus-terusan ia tekuk karena mood buruknya melonjak
drastis akibat ulah Deka yang memaksanya menemui 'tamu istimewa' itu.
"Sorry, udah nunggu lama, Masbro!"
Deka berseru riang di anak tangga terakhir sementara Marisa melongo melihat
siapa 'tamu istimewa'-nya hari ini.
"Tuan Putri
mesti rapiin dandanannya dulu sebelum ketemu pangeran tampannya." Deka
tertawa kecil di akhir kalimatnya. Marisa yang masih bergeming di anak tangga
terbawah membuatnya harus menarik lengan sang kakak agar menghampiri tamunya.
"Hai,
Sa." orang itu menyapa dengan senyumnya yang dulu selalu membuat Marisa
terpesona tiap kali melihatnya.
“H-Hai..”
Marisa menjawab tergeragap.
Menyadari
suasana yang canggung, Deka langsung kabur diam-diam ke dapur untuk menghampiri
sang mama yang sedang membuat kue kering. Ia berpikiran keduanya butuh privasi
untuk mengklarifikasi kesalahan dimasa lampau.
Marisa
berdiri kaku di hadapan si tamu yang memandangnya dengan sorot mata penuh
rindu. “Apa kabar?”
“Baik,” jawab
Marisa pelan. “Kamu sendiri?” lanjutnya.
“As you can see now.”
“Ayo duduk,
Ren,” ajak Marisa. Ia mulai jengah dengan awkward
moment ini. Marisa duduk diikuti si tamu yang ternyata adalah Reno.
Marisa
menghela napas pelan untuk menghilangkan kegugupannya. “Ada apa, Ren? Tumben ke
sini.”
Reno
melakukan hal yang sama dengan Marisa dan mengeluarkan suaranya. “Aku pengen
ajak kamu jalan, gimana?” tanyanya ragu-ragu.
Marisa
menaikan sebelah alisnya, “Hmm.. Kemana?”
“Ke suatu
tempat,” Reno menyunggingkan senyum cerahnya. “Kamu mau, kan?”
“Boleh, deh.
Tunggu bentar, ya. Aku mau siap-siap dulu.” Marisa segera menaiki anak tangga
menuju kamarnya yang terletak bersebelahan dengan kamar Deka.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sesampainya di kamar, Marisa langsung membongkar isi lemarinya dan
mencari baju yang dirasanya pantas untuk ia kenakan hari ini. Tiba-tiba pintu
kamarnya terbuka dan tampaklah Deka dengan wajahnya yang sok polos namun
menyimpan sejuta kejahilan melalui mata dan kata-katanya.
“Cieee..
Kayaknya ada yang lagi CLBK, nih.”
“Ck! Apaan
sih, lo? Sana keluar! Gue mau ganti baju,” ketus Marisa. Matanya mendelik kesal
pada Deka yang sedang terkekeh geli mendengar nada ketus dalam suaranya.
“Ya udah,
deh. Good luck ya, Mbak!” serunya
girang.
Setelah mengganti
pakaian dan berdandan ala kadarnya, Marisa keluar kamar untuk menemui Reno yang
menunggunya. Matanya melihat Reno yang memandangnya dengan pandangan terpesona.
Membuatnya merona malu.
“Cantik,”
hanya itu yang mampu diucapkan Reno saat Marisa sampai di hadapannya. “Kamu
nggak berubah, ya. Masih cantik dalam balutan baju apapun,” lanjutnya.
Rona merah
masih menjalari wajah Marisa ketika tangan pemuda tersebut menggandeng ringan
tangannya. “Yuk,” ajak Reno.
Part 4 – SHOCK!
“Sa, kamu
ada acara nggak abis pulang sekolah?”
Jantung Marisa berdegup kencang ketika
melihat siapa yang berdiri tepat di hadapannya yang sedang kesulitan membawa
beberapa kamus tebal menuju perpustakaan. “Eh.. E-Enggak, kok. Ada apa?” Sial,
kenapa harus gugup sih?!
Senior yang menghadang jalannya
ini mulai mengambil alih kamus-kamus tersebut dari tangannya. “Bagus kalo gitu,
kita jalan, yuk?” ajaknya.
“Hah?! J-Jalan, kak?”
“Iya.. Aku mau bawa kamu ke
suatu tempat yang bagus banget. Aku yakin kamu bakal suka sama tempat itu.
Gimana?” tanya si senior lagi. Mereka sudah sampai di depan pintu perpustakaan
yang berwarna cokelat tua dengan tulisan ‘Library’ menempel di permukaannya.
Marisa membantu seniornya membukakan pintu tersebut dan melangkah masuk ke
dalam ruangan besar berisi buku-buku yang tersusun rapi dalam rak-rak tinggi
tersebut.
“Jadi... Gimana?” tanya senior
tersebut ketika mereka sudah selesai menata kembali kamus-kamus tersebut pada
tempatnya.
Marisa mengangkat telunjuknya
seraya berpikir sejenak, “Hm.. Boleh, deh. Tapi pulangnya jangan sore banget,
ya. Takut Mama nyariin.” Senior tersebut tersenyum lebar memamerkan deretan
gigi putihnya yang berjejer rapi seraya mengangguk.
“Tenang, aja. Nggak akan lama,
kok,” ucapnya meyakinkan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cowok tersebut
sudah menunggu Marisa sejak lima belas menit yang lalu. Punggungnya ia
sandarkan pada pintu mobil dengan mata yang melirik ke segala arah, memastikan
Marisa melihat letak mobilnya yang terparkir tak jauh dari gerbang sekolah.
Sudah hampir dua puluh menit
namun Marisa tidak kunjung terlihat batang hidungnya. Karena takut terjadi
sesuatu pada Marisa, cowok tersebut beranjak dari tempatnya menunggu. Baru
selangkah ia berjalan, Marisa muncul dengan napas terengah-engah.
“Kamu kenapa, Sa?” tanya cowok
itu heran. Ia segera membimbing Marisa masuk ke dalam mobilnya kemudian ia
menyusul masuk dan menghidupkan mesin mobil serta AC.
“Udah nunggu lama, ya, kak? Maaf, ya. Aku
lupa kalo hari ini aku ada jadwal piket, jadi tadi mesti bersih-bersih kelas
dulu sebelum keluar. Kak Reno nggak marah, kan?” Cowok yang ia panggil Reno
tadi tersenyum memaklumi. Peraturan yang dibuat Bu Riska—walikelas
Marisa—memang ketat. Ia tidak akan pernah membiarkan satu orang muridnya bolos
piket.
“Ng.. Baru dua puluh menit, sih.
Tapi nggak papa lah,” ucap Reno dengan nada santai. Ia mulai melajukan mobilnya
meninggalkan lapangan parkir sekolah.
“Dua puluh menit?!” Mata Marisa
membesar dengan cepat, “Waduh, dua puluh menit itu lama, lho, kak!” lanjutnya
merasa tidak enak pada Reno—seniornya yang hanya beda satu tahun di atasnya.
“Ya udah, biar kamu nggak
diserang rasa tidak enak berkepanjangan, sebagai permintaan maaf kamu harus
traktir aku es krim!” seru Reno.
Marisa tampak berpikir sejenak,
“Hm.. Boleh, deh.”
Mobil yang dikendarai Reno
memasuki areal taman kota yang sangat luas. Setelah memarkirkan mobilnya pada
lahan parkir yang tersedia, Reno keluar dari mobil dan melangkah cepat ke
samping kiri mobilnya untuk membukakan pintu bagi Marisa. Marisa yang terkejut
dengan perlakuan Reno yang mendadak menjadi manis begini hanya mampu tersenyum
malu.
“Ini taman apa, kak? Aku baru
tau ada taman kota di daerah sini,” tanya Marisa ingin tahu.
Reno tersenyum bangga, “Ini
taman emang baru jadi. Keluargaku bekerjasama dengan dinas pertamanan setempat
buat bangun taman ini. Keluarga Martadinata berusaha menjadi sponsor atas
dibangunnya taman ini, kami semua ingin menyalurkan kontribusi kami pada bumi
yang emang udah tua. Global warming kan udah makin parah, makanya kita berusaha
membantu bumi untuk memperbaiki kerusakan sedikit demi sedikit dengan dimulai
dari hal kecil sepert ini,” jelasnya panjang lebar.
“Kecil? Kamu bilang ini hal
kecil? Wah, Kak Reno, asal kamu tau ya, hal seperti ini tuh udah termasuk besar
bagi negeri ini. Mengingat banyaknya perusahaan-perusahaan raksasa di luar sana
yang memilih untuk merubah daerah resapan menjadi mall atau apartemen! Keluarga
Martadinata memang hebat, kalian masih memikirkan kondisi bumi ketika para
pesaing kalian malah berduyun-duyun untuk merusak negeri ini.” Marisa berkata
takjub.
Keluarga besar
Reno—Martadinata—memang pemilik perusahaan besar dengan cabang dan anak
perusahaannya yang sudah menjamur dimana-mana dan dalam bidang apapun. Namun,
siapa sangka kalau keluarga ini tidak ‘tamak’ dalam menjalankan usaha. Ini
terbukti ketika kakek Reno, Aulia Martadinata harus merugi sebanyak 9 M sekitar
dua tahun yang lalu karena orang kepercayaan beliau—Theo Mandilan—mengkhianati
kepercayaannya dan membawa kabur uang perusahaan sebanyak 9 M. Ketika
diwawancarai para wartawan, perintis perusahaan Marta Group ini hanya berkata,
“Kalau rejeki ya nggak kemana. Saya sudah mencoba mengikhlaskan uang yang
hilang itu. Mungkin itu memang bukan rejeki saya, kalaupun memang rejeki nanti
akan Allah kembalikan, kok. Lagi pula, harta itu cuma titipan dari yang di
atas.”
Marisa mengerjap-ngerjapkan
matanya ketika Reno memanggilnya dari kejauhan. Cowok itu sudah berdiri di
dekat danau kecil yang ada di dalam taman ini. Dengan senyum yang terukir manis
di wajahnya, Marisa berlari menghampiri Reno. “Kamu ngelamun ya?” tanya Reno
ketika Marisa sudah berdiri di sebelahnya. Alisnya ia kerutkan begitupula
dengan hidungnya dan mulut yang cemberut. Membuat Marisa tertawa terbahak-bahak
karena melihat raut wajahnya yang jelek namun imut itu.Oh My Got! How could he turn out to be as
cute as that?!
Tiba-tiba Reno menarik lengan
kirinya dan menggenggam jemarinya. Membuat jantung Marisa seolah dipompa
berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus kali lebih cepat dari biasanya. Ia
gugup setengah mati atas perlakuan Reno ini.
“Sa.. Aku mau ngomong serius
boleh?” suara Reno yang biasa terdengar santai atau terkadang penuh candaan
berubah serius. Marisa hampir saja menyemburkan tawanya kalau Reno tak
menatapnya tajam sekarang.
“A-Apa, kak?” cicitnya.
“Jangan panggil gue ‘Kak Reno’
lagi!” Reno masih bersuara dalam nada tegasnya. Marisa membelalakan matanya
tanda tak mengerti.
“Maksudnya?” tanya Marisa seraya
mengangkat sebelah alisnya, heran.
“Mulai detik ini, cukup panggil
aku ‘Reno’ atau ‘sayang’ atau apapun itu panggilan sayang lainnya.”
HAH?!
“Aku masih nggak ngerti.”
“Let me be
clear it, I want you to be my girl, Marisa Maudia.” Reno berkata dengan tenang sementara tatapannya melunak.
Oh My God! Where’s my voice?! Duh, kenapa suara gue pake
acar ngilang kayak gini sih?!
“So?” Reno masih
sabar menunggu jawaban yang keluar dari mulut ‘calon pacar’-nya itu.
“A-A...”
“Just say yes or no, Marisa!” Reno berseru frustasi.
“YES, Reno! Yes! I want to be your girl!” Marisa berteriak kesal. Entah kenapa ia
kesal akan sikap Moreno yang menuntut jawabannya. Di depannya, Moreno berteriak
senang dan melompat sebentar sembari menggumankan kata, “YES!”
Marisa
masih menatapnya kesal sekaligus bingung ketika Reno menariknya ke dalam
pelukan hangat cowok itu. “I
won’t let you go, Sa. I won’t!”
“Sa.. MARISA?”
Marisa tergeragap ketika sebuah tangan mencubit
pipinya lembut. “E-Eh.. Iya?”
“Hhh.. Kamu abis ngelamun, ya?” Reno menatapnya
kesal. Merasa dicuekin Marisa karena sedari tadi ia ‘cuap-cuap’ nggak disahutin
oleh gadis di sebelahnya ini.
Marisa tersenyum, merasa bersalah karena membiarkan
Reno ngomong sendiri seperti orang gila. “Maaf,” gumamnya.
“Nggak papa,” Reno beranjak berdiri untuk menghampiri
pedagang es krim yang kebetulan mangkal di taman ini.
Tiba-tiba tangannya ditahan oleh Marisa. “Mau
kemana?”
“Beli es krim, kamu mau rasa apa?” Reno tersenyum
kecil melihat tangan Marisa yang menahannya erat-erat—seolah-olah ia adalah
tahanan rumah.
“Oh.. Aku mau yang vanilla.”
“Wait for some
minutes, ya.” Marisa mengangguk semangat dengan mata berbinar-binar.
Memakan es krim adalah salah satu hal yang paling ia sukai, apalagi disaat
cuaca panas seperti ini.
Pandangannya menyapu sekelilingnya. “Masih sama,”
gumamnya. Ya, taman ini masih sama seperti pertama kali ia datang ke sini. Lima
tahun yang lalu.
“Nih,” Reno mengejutkannya dengan menyodorkan es krim
vanilla dari belakangnya secara tiba-tiba. Marisa yang terkejut hanya bisa
mengelus dada. Salah satu kebiasaan Reno yang ia benci sejak dulu adalah
ngagetin orang!
“Kebiasaan banget sih!”
“Apa?” Reno memasang wajah se-innocent mungkin. Ia mengitari sisi kiri bangku taman ini untuk
duduk di sebelah Marisa.
“Ngagetin orang mulu! Untung aku nggak ada riwayat
penyakit jantung,” gerutu Marisa.
Reno tertawa dan mengacak pelan rambut Marisa yang
tergerai menutupi punggungnya. “Kamu tuh—“
“RENO!”
Ucapan Reno terpotong ketika seorang perempuan
berteriak memanggil namanya. Keduanya menoleh untuk melihat siapa yang menyebut
nama Reno dengan kencang di tempat umum seperti ini. Tanpa diperintah, kedua
bola mata Marisa membelalak kaget melihat siapa yang sedang berlari ke arah
mereka—ke arah Reno lebih tepatnya. Marisa semakin membelalak horror ketika
gadis tersebut menerjang Reno dan menciumi bibir Reno dengan ganas. Membuat
Marisa bergidik ngeri sekaligus jijik terhadap apa yang dilakukan perempuan ini
pada Reno.
Dengan tatapan melecehkan, Marisa meninggalkan tempat
tersebut. Bahkan es krim yang tadi dibelikan Reno untuknya ia tinggalkan di
bangku taman. Tanpa sadar air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Semakin
banyak air mata yang tumpah, semakin cepat pulsa Marisa melangkah. Ia menghapus
kasar air mata yang jatuh ke pipinya dengan punggung tangan dan menyetop taksi
kosong yang kebetulan lewat.
“Ke perumahan Gandaria pak. Jl. Cempaka nomor 55.”
“Baik, Mbak,” ucap si sopir patuh kemudian
menjalankan taksinya dengan kecepatan sedang.
Bodoh! Harusnya
gue nggak usah nemuin Reno lagi! Harusnya gue inget semua kata-kata perempuan
jalang itu! Oh, God! What should I do? Should I believe all of that bitch’s
words?
Marisa masih sibuk menghapus air mata yang turun ke
pipinya seraya mencaci-maki perempuan yang ia temui di taman tadi. Sudah cukup
kehidupan percintaannya dimasa lalu hancur karena perempuan itu. Jangan tambah
masalah baru lagi dalam hidupnya dengan kehadiran perempuan itu lagi.
DAMN YOU, RENO!
No comments:
Post a Comment