Thursday, August 8, 2013

Heart Attack (Part 3-4)

Part 3 – Kembali?
Marisa sedang memikirkan masa lalunya ketika Deka masuk ke kamarnya dan menepuk pundaknya pelan. Ia tersentak kaget dan memukul lengan cowok itu.
                "Apa-apaan sih, lo? Ngagetin aja!"
                "Duileeh, yang kemaren abis ketemu mantan bawaannya ngomel-ngomel mulu. Makanya, Mbak, jangan kebanyakan bengong. Gue ngetok pintu berkali-kali jadi gak kedengeran, kan? Tadinya gue kira lo lagi tidur, pas gue buka noh pintu keramat gak taunya elo lagi bengong-bengong jelek sambil liatin jendela," jelas Deka panjang lebar.
                Marisa berdecak sebal dan kembali ke posisi semulanya; duduk di kursi belajarnya dengan memeluk lutut.
                "Ya elah, gitu aja ngambek. Ada yang nyariin lo, tuh, di bawah."
                Marisa menolehkan kepalanya ke arah si adik sableng ini. "Siapa?" tanyanya malas. Dia sedang tidak ingin bertemu siapapun hari ini.
                Deka nyengir tiga jari dan mengedipkan sebelah matanya nakal. "Tamu spesial."
                "Spesial..spesial. Lo kata martabak telor! Udah, ah, bilang aja gue lagi tidur dan nggak bisa diganggu siapapun."
                "Ya elah, Mbak. Temuin dulu, ngapa? Ntar nyesel, lho."
                "Gue males, Dekaaaaaaa. Udah sana. Get out!" perintahnya galak.
                Tanpa disangka-sangka, Deka menarik lengan kirinya sehingga membuat Marisa kehilangan keseimbangan. Ia segera memeluk tubuh Deka yang berada tepat di hadapannya agar tidak terjun ke lantai. Deka hanya menampilkan cengirannya ketika Marisa melemparkan tatapan sinis padanya.
                "So? Mau jalan sendiri atau gue gendong?" Deka menaikan sebelah alisnya dan tersenyum miring.
                Marisa berdecak kesal dan melepaskan dirinya dari pelukan si adik. "Iya, iya. Gue jalan sendiri ke bawah! Lo nggak perlu repot-repot gendong gue buat ketemu tamu gak penting itu," serunya kesal. Ia heran sendiri, mau-maunya dia menuruti keinginan adik gelonya ini.
                "Tunggu!"
                "Apa lagiiii?" Marisa memutar badannya kesal.
                "Cuci muka dulu ngapa, Mbak? Gak nyadar apa tuh muka udah kayak orang kurang kasih sayang pacar? Mana rambut awut-awutan nggak jelas begitu pula!"
                "Ya ampun, Deka. Gue mau nemuin tuh tamu aja udah syukur! Ribet amat mesti rapi-rapi dulu. Emang sepenting dan sespesial apa sih tuh tamu?" tanya geram. Ini bocah kemauannya banyak banget, sih!
                Tanpa banyak kata, Deka menyeret Marisa menuju toilet dan memerintahkan sang kakak untuk mencuci mukanya serta merapikan rambutnya yang tergerai menutupi punggung.
                “Deka, I’m your sister! Underline it! You can’t govern me to do something that I don’t wanna do,” ucapnya kesal. Deka hanya berdiam diri dan menampakan wajah memelasnya.
                “Please, Mbak. Untuk kali ini aja, lo turutin kemauan gue,” pintanya memelas. Marisa berdecak kesal untuk kesekian kalinya dan membanting pintu kamar mandi tepat di depan wajah sang adik. Deka hanya mengangkat bahunya dan terkekeh kecil.
                 Untuk berjaga-jaga kalau-kalau Marisa keluar tanpa merapikan penampilannya, Deka berdiri di depan pintu kamar mandi. Tak lama kemudian suara air yang mengucur kencang dari kran air terdengar. Deka yang menunggu di luar menyunggingkan senyum misteriusnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Deka menuruni tangga disusul Marisa yang berjalan malas di belakangnya. Wajahnya terus-terusan ia tekuk karena mood buruknya melonjak drastis akibat ulah Deka yang memaksanya menemui 'tamu istimewa' itu.
                "Sorry, udah nunggu lama, Masbro!" Deka berseru riang di anak tangga terakhir sementara Marisa melongo melihat siapa 'tamu istimewa'-nya hari ini.
                "Tuan Putri mesti rapiin dandanannya dulu sebelum ketemu pangeran tampannya." Deka tertawa kecil di akhir kalimatnya. Marisa yang masih bergeming di anak tangga terbawah membuatnya harus menarik lengan sang kakak agar menghampiri tamunya.
                "Hai, Sa." orang itu menyapa dengan senyumnya yang dulu selalu membuat Marisa terpesona tiap kali melihatnya.
                “H-Hai..” Marisa menjawab tergeragap.
                Menyadari suasana yang canggung, Deka langsung kabur diam-diam ke dapur untuk menghampiri sang mama yang sedang membuat kue kering. Ia berpikiran keduanya butuh privasi untuk mengklarifikasi kesalahan dimasa lampau.
                Marisa berdiri kaku di hadapan si tamu yang memandangnya dengan sorot mata penuh rindu. “Apa kabar?”
                “Baik,” jawab Marisa pelan. “Kamu sendiri?” lanjutnya.
                “As you can see now.”
                “Ayo duduk, Ren,” ajak Marisa. Ia mulai jengah dengan awkward moment ini. Marisa duduk diikuti si tamu yang ternyata adalah Reno.
                Marisa menghela napas pelan untuk menghilangkan kegugupannya. “Ada apa, Ren? Tumben ke sini.”
                Reno melakukan hal yang sama dengan Marisa dan mengeluarkan suaranya. “Aku pengen ajak kamu jalan, gimana?” tanyanya ragu-ragu.
                Marisa menaikan sebelah alisnya, “Hmm.. Kemana?”
                “Ke suatu tempat,” Reno menyunggingkan senyum cerahnya. “Kamu mau, kan?”
                “Boleh, deh. Tunggu bentar, ya. Aku mau siap-siap dulu.” Marisa segera menaiki anak tangga menuju kamarnya yang terletak bersebelahan dengan kamar Deka.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sesampainya di kamar, Marisa langsung membongkar isi lemarinya dan mencari baju yang dirasanya pantas untuk ia kenakan hari ini. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan tampaklah Deka dengan wajahnya yang sok polos namun menyimpan sejuta kejahilan melalui mata dan kata-katanya.
                “Cieee.. Kayaknya ada yang lagi CLBK, nih.”
                “Ck! Apaan sih, lo? Sana keluar! Gue mau ganti baju,” ketus Marisa. Matanya mendelik kesal pada Deka yang sedang terkekeh geli mendengar nada ketus dalam suaranya.
                “Ya udah, deh. Good luck ya, Mbak!” serunya girang.
                Setelah mengganti pakaian dan berdandan ala kadarnya, Marisa keluar kamar untuk menemui Reno yang menunggunya. Matanya melihat Reno yang memandangnya dengan pandangan terpesona. Membuatnya merona malu.
                “Cantik,” hanya itu yang mampu diucapkan Reno saat Marisa sampai di hadapannya. “Kamu nggak berubah, ya. Masih cantik dalam balutan baju apapun,” lanjutnya.
                Rona merah masih menjalari wajah Marisa ketika tangan pemuda tersebut menggandeng ringan tangannya. “Yuk,” ajak Reno.








Part 4 – SHOCK!
“Sa, kamu ada acara nggak abis pulang sekolah?”
                Jantung Marisa berdegup kencang ketika melihat siapa yang berdiri tepat di hadapannya yang sedang kesulitan membawa beberapa kamus tebal menuju perpustakaan. “Eh.. E-Enggak, kok. Ada apa?” Sial, kenapa harus gugup sih?!
                Senior yang menghadang jalannya ini mulai mengambil alih kamus-kamus tersebut dari tangannya. “Bagus kalo gitu, kita jalan, yuk?” ajaknya.
                “Hah?! J-Jalan, kak?”
                “Iya.. Aku mau bawa kamu ke suatu tempat yang bagus banget. Aku yakin kamu bakal suka sama tempat itu. Gimana?” tanya si senior lagi. Mereka sudah sampai di depan pintu perpustakaan yang berwarna cokelat tua dengan tulisan ‘Library’ menempel di permukaannya. Marisa membantu seniornya membukakan pintu tersebut dan melangkah masuk ke dalam ruangan besar berisi buku-buku yang tersusun rapi dalam rak-rak tinggi tersebut.
                “Jadi... Gimana?” tanya senior tersebut ketika mereka sudah selesai menata kembali kamus-kamus tersebut pada tempatnya.
                Marisa mengangkat telunjuknya seraya berpikir sejenak, “Hm.. Boleh, deh. Tapi pulangnya jangan sore banget, ya. Takut Mama nyariin.” Senior tersebut tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya yang berjejer rapi seraya mengangguk.
                “Tenang, aja. Nggak akan lama, kok,”  ucapnya meyakinkan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cowok tersebut sudah menunggu Marisa sejak lima belas menit yang lalu. Punggungnya ia sandarkan pada pintu mobil dengan mata yang melirik ke segala arah, memastikan Marisa melihat letak mobilnya yang terparkir tak jauh dari gerbang sekolah.
                Sudah hampir dua puluh menit namun Marisa tidak kunjung terlihat batang hidungnya. Karena takut terjadi sesuatu pada Marisa, cowok tersebut beranjak dari tempatnya menunggu. Baru selangkah ia berjalan, Marisa muncul dengan napas terengah-engah.
                “Kamu kenapa, Sa?” tanya cowok itu heran. Ia segera membimbing Marisa masuk ke dalam mobilnya kemudian ia menyusul masuk dan menghidupkan mesin mobil serta AC.
                “Udah nunggu lama, ya, kak? Maaf, ya. Aku lupa kalo hari ini aku ada jadwal piket, jadi tadi mesti bersih-bersih kelas dulu sebelum keluar. Kak Reno nggak marah, kan?” Cowok yang ia panggil Reno tadi tersenyum memaklumi. Peraturan yang dibuat Bu Riska—walikelas Marisa—memang ketat. Ia tidak akan pernah membiarkan satu orang muridnya bolos piket.
                “Ng.. Baru dua puluh menit, sih. Tapi nggak papa lah,” ucap Reno dengan nada santai. Ia mulai melajukan mobilnya meninggalkan lapangan parkir sekolah.
                “Dua puluh menit?!” Mata Marisa membesar dengan cepat, “Waduh, dua puluh menit itu lama, lho, kak!” lanjutnya merasa tidak enak pada Reno—seniornya yang hanya beda satu tahun di atasnya.
                “Ya udah, biar kamu nggak diserang rasa tidak enak berkepanjangan, sebagai permintaan maaf kamu harus traktir aku es krim!” seru Reno.
                Marisa tampak berpikir sejenak, “Hm.. Boleh, deh.”
                Mobil yang dikendarai Reno memasuki areal taman kota yang sangat luas. Setelah memarkirkan mobilnya pada lahan parkir yang tersedia, Reno keluar dari mobil dan melangkah cepat ke samping kiri mobilnya untuk membukakan pintu bagi Marisa. Marisa yang terkejut dengan perlakuan Reno yang mendadak menjadi manis begini hanya mampu tersenyum malu.
                “Ini taman apa, kak? Aku baru tau ada taman kota di daerah sini,” tanya Marisa ingin tahu.
                Reno tersenyum bangga, “Ini taman emang baru jadi. Keluargaku bekerjasama dengan dinas pertamanan setempat buat bangun taman ini. Keluarga Martadinata berusaha menjadi sponsor atas dibangunnya taman ini, kami semua ingin menyalurkan kontribusi kami pada bumi yang emang udah tua. Global warming kan udah makin parah, makanya kita berusaha membantu bumi untuk memperbaiki kerusakan sedikit demi sedikit dengan dimulai dari hal kecil sepert ini,” jelasnya panjang lebar.
                “Kecil? Kamu bilang ini hal kecil? Wah, Kak Reno, asal kamu tau ya, hal seperti ini tuh udah termasuk besar bagi negeri ini. Mengingat banyaknya perusahaan-perusahaan raksasa di luar sana yang memilih untuk merubah daerah resapan menjadi mall atau apartemen! Keluarga Martadinata memang hebat, kalian masih memikirkan kondisi bumi ketika para pesaing kalian malah berduyun-duyun untuk merusak negeri ini.” Marisa berkata takjub.
                Keluarga besar Reno—Martadinata—memang pemilik perusahaan besar dengan cabang dan anak perusahaannya yang sudah menjamur dimana-mana dan dalam bidang apapun. Namun, siapa sangka kalau keluarga ini tidak ‘tamak’ dalam menjalankan usaha. Ini terbukti ketika kakek Reno, Aulia Martadinata harus merugi sebanyak 9 M sekitar dua tahun yang lalu karena orang kepercayaan beliau—Theo Mandilan—mengkhianati kepercayaannya dan membawa kabur uang perusahaan sebanyak 9 M. Ketika diwawancarai para wartawan, perintis perusahaan Marta Group ini hanya berkata, “Kalau rejeki ya nggak kemana. Saya sudah mencoba mengikhlaskan uang yang hilang itu. Mungkin itu memang bukan rejeki saya, kalaupun memang rejeki nanti akan Allah kembalikan, kok. Lagi pula, harta itu cuma titipan dari yang di atas.”
                Marisa mengerjap-ngerjapkan matanya ketika Reno memanggilnya dari kejauhan. Cowok itu sudah berdiri di dekat danau kecil yang ada di dalam taman ini. Dengan senyum yang terukir manis di wajahnya, Marisa berlari menghampiri Reno. “Kamu ngelamun ya?” tanya Reno ketika Marisa sudah berdiri di sebelahnya. Alisnya ia kerutkan begitupula dengan hidungnya dan mulut yang cemberut. Membuat Marisa tertawa terbahak-bahak karena melihat raut wajahnya yang jelek namun imut itu.Oh My Got! How could he turn out to be as cute as that?!
                Tiba-tiba Reno menarik lengan kirinya dan menggenggam jemarinya. Membuat jantung Marisa seolah dipompa berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus kali lebih cepat dari biasanya. Ia gugup setengah mati atas perlakuan Reno ini.
                “Sa.. Aku mau ngomong serius boleh?” suara Reno yang biasa terdengar santai atau terkadang penuh candaan berubah serius. Marisa hampir saja menyemburkan tawanya kalau Reno tak menatapnya tajam sekarang.
                “A-Apa, kak?” cicitnya.
                “Jangan panggil gue ‘Kak Reno’ lagi!” Reno masih bersuara dalam nada tegasnya. Marisa membelalakan matanya tanda tak mengerti.
                “Maksudnya?” tanya Marisa seraya mengangkat sebelah alisnya, heran.
                “Mulai detik ini, cukup panggil aku ‘Reno’ atau ‘sayang’ atau apapun itu panggilan sayang lainnya.”
                HAH?!
                “Aku masih nggak ngerti.”
                “Let me be clear it, I want you to be my girl, Marisa Maudia.” Reno berkata dengan tenang sementara tatapannya melunak.
                Oh My God! Where’s my voice?! Duh, kenapa suara gue pake acar ngilang kayak gini sih?!
                “So?” Reno masih sabar menunggu jawaban yang keluar dari mulut ‘calon pacar’-nya itu.
                “A-A...”
                “Just say yes or no, Marisa!” Reno berseru frustasi.
                “YES, Reno! Yes! I want to be your girl!” Marisa berteriak kesal. Entah kenapa ia kesal akan sikap Moreno yang menuntut jawabannya. Di depannya, Moreno berteriak senang dan melompat sebentar sembari menggumankan kata, “YES!”
                Marisa masih menatapnya kesal sekaligus bingung ketika Reno menariknya ke dalam pelukan hangat cowok itu. “I won’t let you go, Sa. I won’t!

“Sa.. MARISA?”
                Marisa tergeragap ketika sebuah tangan mencubit pipinya lembut. “E-Eh.. Iya?”
                “Hhh.. Kamu abis ngelamun, ya?” Reno menatapnya kesal. Merasa dicuekin Marisa karena sedari tadi ia ‘cuap-cuap’ nggak disahutin oleh gadis di sebelahnya ini.
                Marisa tersenyum, merasa bersalah karena membiarkan Reno ngomong sendiri seperti orang gila. “Maaf,” gumamnya.
                “Nggak papa,” Reno beranjak berdiri untuk menghampiri pedagang es krim yang kebetulan mangkal di taman ini.
                Tiba-tiba tangannya ditahan oleh Marisa. “Mau kemana?”
                “Beli es krim, kamu mau rasa apa?” Reno tersenyum kecil melihat tangan Marisa yang menahannya erat-erat—seolah-olah ia adalah tahanan rumah.
                “Oh.. Aku mau yang vanilla.”
                “Wait for some minutes, ya.” Marisa mengangguk semangat dengan mata berbinar-binar. Memakan es krim adalah salah satu hal yang paling ia sukai, apalagi disaat cuaca panas seperti ini.
                Pandangannya menyapu sekelilingnya. “Masih sama,” gumamnya. Ya, taman ini masih sama seperti pertama kali ia datang ke sini. Lima tahun yang lalu.
                “Nih,” Reno mengejutkannya dengan menyodorkan es krim vanilla dari belakangnya secara tiba-tiba. Marisa yang terkejut hanya bisa mengelus dada. Salah satu kebiasaan Reno yang ia benci sejak dulu adalah ngagetin orang!
                “Kebiasaan banget sih!”
                “Apa?” Reno memasang wajah se-innocent mungkin. Ia mengitari sisi kiri bangku taman ini untuk duduk di sebelah Marisa.
                “Ngagetin orang mulu! Untung aku nggak ada riwayat penyakit jantung,” gerutu Marisa.
                Reno tertawa dan mengacak pelan rambut Marisa yang tergerai menutupi punggungnya. “Kamu tuh—“
                “RENO!”
                Ucapan Reno terpotong ketika seorang perempuan berteriak memanggil namanya. Keduanya menoleh untuk melihat siapa yang menyebut nama Reno dengan kencang di tempat umum seperti ini. Tanpa diperintah, kedua bola mata Marisa membelalak kaget melihat siapa yang sedang berlari ke arah mereka—ke arah Reno lebih tepatnya. Marisa semakin membelalak horror ketika gadis tersebut menerjang Reno dan menciumi bibir Reno dengan ganas. Membuat Marisa bergidik ngeri sekaligus jijik terhadap apa yang dilakukan perempuan ini pada Reno.
                Dengan tatapan melecehkan, Marisa meninggalkan tempat tersebut. Bahkan es krim yang tadi dibelikan Reno untuknya ia tinggalkan di bangku taman. Tanpa sadar air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Semakin banyak air mata yang tumpah, semakin cepat pulsa Marisa melangkah. Ia menghapus kasar air mata yang jatuh ke pipinya dengan punggung tangan dan menyetop taksi kosong yang kebetulan lewat.
                “Ke perumahan Gandaria pak. Jl. Cempaka nomor 55.”
                “Baik, Mbak,” ucap si sopir patuh kemudian menjalankan taksinya dengan kecepatan sedang.
                Bodoh! Harusnya gue nggak usah nemuin Reno lagi! Harusnya gue inget semua kata-kata perempuan jalang itu! Oh, God! What should I do? Should I believe all of that bitch’s words?
                Marisa masih sibuk menghapus air mata yang turun ke pipinya seraya mencaci-maki perempuan yang ia temui di taman tadi. Sudah cukup kehidupan percintaannya dimasa lalu hancur karena perempuan itu. Jangan tambah masalah baru lagi dalam hidupnya dengan kehadiran perempuan itu lagi.

                DAMN YOU, RENO!

No comments:

Post a Comment