Thursday, August 8, 2013

Heart Attack (Part 1-2)

Part 1 – Past Love
“Sa.. Marisa.. Marisa! Tunggu aku, Sa!”
                Orang itu kembali memanggil Marisa dengan suara yang sudah naik dua oktaf. Tetapi Marisa tidak peduli. Ia terus berjalan, menembus hujan dan angin yang bertiup kencang tanpa mengenakan jaket atau payung. Ia membiarkan dirinya basah oleh air hujan yang turun dengan derasnya.         
                “Marisa Maudia Hapsari! Aku sayang sama kamu, Sa! Aku nggak mau kehilangan kamu, tapi kenapa kamu ninggalin aku, Sa? Apa salah aku? Bilang sama aku, Sa!” Lelaki itu mengejarnya dan mengucapkan kalimat tersebut dengan suara serak.
                Marisa tiba-tiba berhenti dan hal itu membuat lelaki yang mengejarnya hampir saja menabraknya kalau ia tidak menemukan keseimbangannya. “Kamu nggak punya salah apapun sama aku, Ren. Aku cuma mau kamu tinggalin aku, udah itu aja!”
                “Tapi kenapa, Sa? Kenapa?? Aku sayang sama kamu. Tapi apa balasan kamu, Sa?!” Suara lelaki tersebut kembali naik satu oktaf di kalimat terakhirnya setelah sebelumnya ia mengucapkan dengan lirih.
                “Tinggalin aku, Ren. Lupain aku. Aku mohon..T-Tinggalin aku, Moreno!” ucap Marisa dengan penuh permohonan tanpa perlu membalikan badannya untuk menatap lelaki yang ia sebut Moreno tadi. Suaranya bergetar dan tubuhnya mulai menggigil. Tapi ia berusaha sekuat tenaga agar Reno tidak menyadari keadaannya.
                “Oke! Kalau itu mau kamu, aku akan turutin itu. Tapi ingat, Marisa. Satu hal yang harus kamu camkan baik-baik; aku nggak akan pernah ngelupain kamu. Aku akan terus mencintai kamu, aku akan nunggu kamu sampai pada waktunya, sampai kamu mau nerima aku lagi dan menjelaskan apa sebab kamu nyuruh aku ninggalin kamu kayak gini!”
                Dengan napas tersengal dan perasaan bercampur aduk, Moreno pergi dari tempat itu. Marisa menghembuskan napas lega dan segera mencari taksi. Ia perlu menghangatkan diri dan menenangkan hatinya. Karena jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tidak ingin Reno pergi meninggalkannya.

Marisa terbangun dengan napas tersengal-sengal, ia melihat ke sekelilingnya. Gelap. Ia segera mencari dimana ponselnya berada. Seketika keningnya berkerut ketika melihat jam menunjukan pukul delapan tepat. Pantas hari sudah gelap. Gadis berambut sebahu ini segera menghidupkan lampu dan menutup tirai jendelanya. Untung ia sedang kedatangan tamu bulanan, jadi ia tidak perlu khawatir karena melewatkan waktu sholat maghrib.
                “Perasaan tadi masih jam empat sore, deh. Cepet amat udah malem aja,” ucapnya kepada dirinya sendiri. Marisa keluar dari kamarnya dan berjalan menuruni tangga menuju dapur. Sebuah kertas post-it berwarna kuning yang menarik perhatiannya tertempel di pintu kulkas. Dengan cepat ia membacanya.

Sa, mama sama papa pergi ke rumah Tante Desi dulu, ya. Deka juga ikut sama kita. Kalo laper panasin makaroni skotel yang ada di kulkas aja.
With love,
          Mom, Dad, and Azka
               
                Marisa mendengus sebal ketika membacanya. Tega-teganya kedua orangtuanya dan sang adik pergi tanpa mengajaknya. Dengan wajah cemberut ia mengeluarkan makaroni skotel yang dimaksud sang mama dari kulkas dan memanaskannya di microwave. Sembari menunggu makaroninya siap, Marisa mengingat-ingat lagi mimpinya tadi.
                Bukan. Bukan mimpi. Karena itu nyata sekali. Yah, itu memang kejadian nyata. Dan ia sangat menyesalinya; kenapa ia harus memimpikan peristiwa itu? Ia ingat sekali penyebab dirinya harus berpisah dengan kekasihnya—cinta pertamanya—semasa SMA tersebut. Tanpa sadar air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Dengan cepat ia hilangkan ingatan tersebut dari otaknya dan menyeka  air mata sebelum turun ke pipinya. Ia sudah lelah menangis. Menangisi kebodohannya sendiri.  Dan sekarang bukan waktunya untuk menangis serta menyesali kebodohannya.
                Ting!
                Microwave berbunyi sekali tanda makanan siap untuk dihidangkan. Marisa segera mengeluarkan makaroni kesukaanya dan menyatapnya dengan lahap untuk mengalihkan pikirannya dari mimpi tersebut.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hari ini adalah hari ketiga Marisa ada di Indonesia. Hampir setahun ia tidak pulang ke Indonesia dan hal itu membuat sang Mama mengomelinya setiap kali menelpon beliau. Dan sekarang disaat liburan semester, ia menyempatkan dirinya untuk pulang ke Jakarta. Marisa memang tidak berkuliah di dalam negeri, ia memilih berkuliah di Meiji Daigaku atau lebih dikenal sebagai University of Meiji atas dasar beasiswa yang didapatnya untuk jurusan Business Administration.
                Universitas Meiji yang terletak di daerah Kandasurugadai di Tokyo sempat membuat Mamanya ketar-ketir karena kemampuan anak gadisnya dalam berbahasa Jepang tidak semahir sang suami yang sempat ditugaskan ke Jepang selama empat tahun. Oleh karena itu Marisa mengambil les kilat berbahasa Jepang di suatu tempat kursus dan berlatih berbicara menggunakan bahasa Jepang dengan sang Papa walaupun masih belum mahir.
                Marisa selalu ingat bagaimana kerasnya ia berjuang agar bisa mendapatkan beasiswa ini dan mempertahankan prestasinya—kalau tidak mau beasiswanya dicabut. Alasan lain ia memilih mengambil beasiswa tersebut adalah untuk menghindari seseorang. Ia tidak ingin bertemu dengan orang tersebut untuk beberapa waktu lamanya sehingga ia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepadanya. Mengingat orang tersebut mau tak mau membuatnya mengingat kebodohannya lima tahun yang lalu. Cepat-cepat ia mengusir bayangan tersebut dari otaknya.
                “HOI! Bengong aja,” Marisa tersentak kaget ketika seseorang menepuk pundaknya dengan keras dari belakang. Tanpa perlu repot-repot menengok untuk melihat siapa yang mengagetkannya, Marisa mengelus dadanya.
                “Damn you, Deka! You shocked me,” omel Marisa kepada adik semata wayangnya.
                Deka bersiul sebelum mengedipkan sebelah matanya nakal. “Lagian pagi-pagi udah bengong aja kayak burung lagi hamil,” Deka berkelit dan duduk di sebelah kakaknya. “Ada apa, Mbak?”
                Marisa mendengus mendengar ucapan adik sablengnya. Burung hamil? Sejak kapan ia tahu kalau burung hamil itu kerjaannya bengong? Oke, lupakan tentang burung hamil, pikir Marisa.
                “None of your business,” jawab Marisa jutek.
                “Duileeehh.. Udah lama gak pulang ke Indo jadi galak lo, Mbak. Makan ape lo di sana?” Jarak umur mereka yang hanya terpaut tiga tahun membuat mereka lebih sering menggunakan ‘gue-elo’ satu sama lain.
                “Berisik lo, gue sumpel pake roti gosong juga lo, ya!” ancam Marisa karena kesal Deka terlalu ‘kepo’ terhadapnya.
                Terdengar suara Tiara Hapsari, mama mereka dari dalam rumah, “Marisa, Deka, jangan berantem terus kenapa, sih. Kamu kan baru pulang, Sa. Bukannya kangen-kangenan sama adeknya malah berantem. Kamu juga, Deka, jangan cari gara-gara mulu sama kakak kamu, bisa?”
                “Ehehehe... Nggak bisa, Mam. Namanya kangen ya susah, lah.” Deka menyahut dengan santainya disertai cengiran lebarnya.
                “Untung gue nggak kangen sama lo.”
                “Hei, sudah, ah. Pusing mama liat kalian berantem mulu kayak anak umur 5 tahun.” Wanita berumur 48 tahun ini menggeleng-gelengkan kepalanya. Heran melihat sikap kedua buah hatinya ini. “Sa, nanti malem kamu nggak kemana-mana, kan?”
                “Nggak, Mam. Kenapa?”
                “Bagus, ikut mama ke pernikahan anaknya temen mama, ya? Kamu juga, Deka,” ucap beliau kepada kedua anaknya.
                “Emang harus ya, Ma?” Deka bersuara terlebih dahulu. Nada suaranya terdengar merajuk.
                “Aku ikut deh, Mam. Bosen di rumah,” Marisa mengiyakan permintaan Tiara.
                Mama tersenyum kepada Marisa kemudian tatapannya beralih kepada Deka. Kali ini lebih tajam agar si bungsu mengiyakan permintaanya. “Jadi gimana, Deka?”
                “I-Iya deh, Ma.. Aku ikut,” ucap Deka pasrah. Terpaksa ia membatalkan janjinya nobar motogp dengan teman-temannya di rumah Nino, daripada uang bulanannya harus dipotong!
                “Anak pintar,” Tiara tersenyum senang seraya mengelus-elus puncak kepala anak bungsunya. Membuat Deka kesal karena merasa dirinya diperlakukan seperti anak balita.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
The whispers in the morning
Of lovers sleeping tight
Are rolling like thunder now
As I look in your eyes

I hold on to your body
And feel each move you make
Your voice is warm and tender
A love that I could not forsake

Suara penyanyi cantik tersebut mengalun indah membawakan lagu milik penyanyi terkenal Celine Dion, The Power Of Love. Marisa yang sedang meminum minumannya sempat tersedak dan terbatuk-batuk beberapa kali ketika mendengar lagu ini. Deka sampai harus memijat tengkuknya yang malam ini terekspose karena ia hanya mengenakan dress selutut bertali spaggheti dan rambutnya yang digelung ke atas membentuk konde kecil.
                Untuk beberapa saat setelah batuknya mereda, Marisa terdiam. Ingatannya kembali ke empat tahun yang lalu.

“Sayang, kamu denger apa sih?” tanya seorang lelaki yang duduk di sebelahnya. Mereka sedang berada di sebuah taman kota dan baru saja menyelesaikan jogging pagi ini.
                “The Power Of Love,” jawabnya cuek.
                “Aku mau denger dong?” pinta si lelaki.
                “Nih,” Marisa menyerahkan salah satu headset-nya kepada lelaki tampan di sebelahnya. Suara Celine Dion masih mengalun indah dari iPod miliknya. Ia sangat menyukai lagu ini.
                “Lagunya enak,” komentar lelaki yang tak lain adalah pacarnya ini.
                Marisa tergelak dan tersenyum geli. “Emangnya kamu kira ini makanan? Sampe dibilang enak gitu?”
                Lelaki tersebut terlihat gemas dengan tingkah sang pacar, “Ih, bukan itu maksud, sayaaaaaaannngg.. Kamu ngerti, kan?”
                “Hahaha.. Iya.. Iya, aku ngerti kok maksud kamu. Muka kamu kalo lagi kesel lucu banget, deh! Hahaha,” Marisa kembali menertawakan pacarnya.
                “Awas kamu, yaaa..” Marisa berdiri dan berlari sekencangnya agar terhindar dari serangan lelaki tersebut. Ia tertawa riang sambil sesekali menjulurkan lidahnya untuk mengejek sang pacar. Yah, karena dari penampilan luar Marisa sudah kalah bodi dengan si lelaki, dapat dipastikan sang pacar dapat menyusulnya dan menangkapnya dengan mudah.
                “Yak, kena!” seru lelaki itu dengan bangga karena dapat menangkap dan memeluk tubuh mungil gadisnya dengan mudah.
                Marisa meronta minta diturunkan karena sekarang sang pacar sudah menggendongnya dan membawanya ke tempat duduk. Hal tersebut membuat beberapa pasang mata melirik mereka dan terkagum-kagum melihat ketampanan sang lelaki serta kecantikan sang gadis.
                “Kamu bikin orang-orang ngeliatin kita, tau!” semprot Marisa saat mereka sudah duduk. Si pacar terlihat tidak peduli dengan mengangkat bahunya acuh tak acuh dan nyengir kuda.
                “Biarin, yang penting yang aku gendong ituu.. Kamu!” sahutnya seraya tersenyum lebar dan merangkul Marisa dengan penuh kasih sayang. Ia mengeratkan rangkulannya di pundak Marisa tatkala memergoki beberapa mata lelaki lain melirik pacarnya dengan kagum. Sikapnya yang protektif terkadang membuat Marisa kesal namun juga senang.
                “Morenooooo.. Udah, dong. Malu, tau!” Marisa berusaha melepaskan rangkulan lelaki yang dipanggilnya Moreno tersebut karena menurutnya pacarnya tersebut berlebihan.
                Reno meliriknya sebelum melemparkan pandangannya ke arah pepohonan yang rimbun, “Aku mau lepas, tapi kamu harus janji satu hal.”
                Marisa menatapnya penasaran. “Apa?”
                “Kamu harus terus ada di samping aku sampe maut yang memisahkan.”
                Marisa menatapnya dengan binar mata bahagia. Perlahan senyumnya mengembang. “Aku janji.”
                Moreno tersenyum lembut sebelum mengucapkan, “I love you, mi quèrida.
                “Love you too, my prince.
               
Marisa tersadar dari lamunannya ketika mendengar penyanyi cantik di atas panggung menyelesaikan lagu tersebut. Seketika matanya berkelana mengelilingi ball-room yang sangat luas. Ia merasa ada yang memperhatikannya sedari tadi, namun ia tidak menemukan siapa yang memperhatikannya. Para tamu yang hadir sibuk dengan makanannya atau berbincang-bincang dengan kerabat maupun relasi bisnis. Maklum, pesta pernikahan yang ia hadiri ini milik calon pewaris Tata Group, perusahaan yang bergerak di bidang industri mebel dan perumahan terbesar di Indonesia. Jadi wajar kalau yang ia temui di sini adalah kaum sosialita yang levelnya jauh di atasnya.
                “Dek, lo dapet Zuppa Soup dimana? Kok gue nyari dari tadi nggak nemu-nemu, ya?” tanya Marisa ketika melihat Deka kembali dengan semangkuk Zuppa Soup di tangan. Ini anak, padahal ia baru saja menghabiskan Cremè Brule dan Mini Cheese Quiche serta dua buah pudding cokelat, tapi kok nggak ada kenyang-kenyangnya, ya?
                “Lah? Lo nggak dengerin omongan gue tadi ya, Mbak?” Deka terlihat heran ketika Marisa bertanya dimana letak meja khusus Zuppa Soup. Padahal tadi sebelum pergi mengambil makanan ini ia sempat bilang kepada Marisa kalau meja khusus Zuppa Soup ada di sebelah Cremè Brule seraya menunjuk tempatnya. Mengingat kakaknya yang satu ini penggila Zuppa Soup, ia berkewajiban untuk memberitahukan dimana letak Zuppa Soup bila Deka yang menemukannya terlebih dahulu.
                “Umm.. Kayaknya pas lo ngomong tadi gue lagi bengong, deh. Hehehe..” Marisa cengengesan sendiri sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
                Deka menghela napas, pantas saja Marisa tidak menyahut ataupun bereaksi ketika ia bilang akan mengambil makanan favorit mereka ini. “Ya udah, ambil sana. Ada di sebelah Cremè Brule, ya.” Deka mengingatkan seraya memasukan sesendok Zuppa Soup ke dalam mulutnya. Ia tidak menggubris tatapan beberapa gadis yang terlihat menyukai wajah tampannya yang asli Indonesia dengan rahang tegas serta alis tebal dan sorot mata ramah.
                Marisa segera ngeloyor pergi setelah mengacungkan jempolnya pada Deka. Baru beberapa langkah ia berjalan tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang keras menabrak pundak kanannya. Ia menutup matanya, bersiap merasakan empuknya karpet ball-room yang tebal ini di bokongnya. Namun ia tidak merasakan apapun. Yang ia rasakan justru sebuah tangan yang menopang punggungnya agar tak jatuh.
                Gadis ini segera membuka matanya dan tatapan hangat seorang lelaki langsung menyambutnya, “Sorry..” ucap si lelaki disertai senyum ramah. Ia menampilkan raut muka bersalah dan membantu Marisa berdiri tegak diatas heels setinggi 7 centimeter.
                “No problem,” Marisa membalas senyum si lelaki tak kalah ramahnya. Menyadari suasana menjadi canggung, Marisa memilih membuka suara terlebih dahulu, “Thanks for your help.
                “With pleasure, lady.” Si lelaki memperhatikan punggung Marisa yang menjauh. Ia merasa pernah bertemu gadis itu. Tapi, dimana? Ia memilih mengabaikan pikiran tersebut dan menghampiri sahabatnya yang datang terlambat karena harus mengurus beberapa hal di perusahaan milik keluarga besar sahabatnya itu sebelum menghadiri pernikahan kakaknya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Marisa meletakan mangkuk bekas Zuppa Soup-nya ke atas meja khusus piring kotor. Ketika akan kembali tempat duduknya, ia merasa lengannya ditahan seseorang. Gadis itu menoleh ke samping kanannya untuk melihat siapa yang menahannya dan matanya bertumbukan dengan tatapan hangat milik orang yang menabraknya tadi. Lelaki tersebut tersenyum manis kepadanya dan mau tak mau membuat Marisa tersenyum lembut.
                 Si lelaki sepertinya tidak sendiri, namun Marisa memilih mengabaikan orang yang berdiri di sebelah orang yang menabraknya tadi tanpa meliriknya sama sekali. “Hei,” ucap si lelaki membuka percakapan. “Sorry ganggu, tapi gue cuma mau ngajak kenalan. Boleh?”
                “Sure.”
                “Kenalin, gue Beno Anggara,” lelaki yang bernama Beno ini memperkenalkan dirinya seraya menjulurkan tangan kanannya ke depan. Mengajak Marisa bersalaman.
                “Marisa Maudia,” ucap Marisa dengan senyum manis.
                Beno beralih pada seseorang yang berdiri di sebelahnya, “Dan ini...” Beno tidak menyadari gestur tubuh orang di sebelahnya sudah berubah sejak tadi ia menahan Marisa. Kaku dan kaget.
                Seketika Marisa membeku di tempatnya. He’s here! Marisa berteriak dalam hati. Jantungnya berpacu cepat dan keringat dingin mulai mengaliri dahinya.
                “Moreno..” bisiknya. Tidak cukup pelan karena Beno dapat mendengarnya menyebutkan nama lelaki di sampingnya bersamaan ketika Beno menyebutkan nama sahabatnya ini.
                “Ma-Mari..sa?”
                Beno menatap dua orang di hadapannya bergantian. “Kalian udah saling kenal?” tanyanya dengan alis yang terangkat sebelah.
                Tidak ada yang menjawab. Mereka berdua hanya bertatapan dengan kerinduan yang terpancar melalui tatapan masing-masing. Suara Demi Lovato yang menyanyikan Heart Attack memecahkan keheningan di antara mereka bertiga.
                Marisa segera membuka risleting tasnya dan mencari dimana ponselnya. Setelah mendapatkan benda tersebut ia segera mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya tanpa melihat caller ID terlebih dahulu. “Halo..”
                “Mbak, lo dimaneeee? Kita udah mau pulang, nih. Nyokap ngira lo ilang, tau?” Marisa sangat kenal dengan suara ini. Jadi tanpa basa-basi lagi ia segera menyudahi pembicaraannya.
                “I-Iya, gue ke sana sekarang.”
                “Sorry, but I have to go now. Nice to meet you, guys!”  Marisa menampilkan wajah bersalahnya dengan tujuan menutupi kegugupannya akibat pertemuan tidak terduganya dengan Moreno, mantan pacarnya saat SMA.
                Moreno hanya mampu menatap punggung Marisa yang semakin menjauh. Seketika kenangan-kenangan manisnya di masa silam berkelebat di kepalanya. Berputar dengan cepat bagaikan film gratis yang menuntut untuk ditonton.


Part 2 – Meet Him.. (Again)
Dengan langkah tergesa-gesa Marisa melangkah menuju parkiran dimana kedua orang tuanya dan Deka menunggu dirinya. Ketika menemukan mobil orang tuanya dengan Deka yang sedang menunggu di luar mobil—bersandar pada bagian depan mobil, ia mendesah lega. Setidaknya adiknya yang malam ini menjadi sopir dadakan tidak berniat meninggalkannya,.
                “Ya ampun, Mbak! Lo dari mane aja sih? Bilangnya mau naruh piring kotor ke tempatnya, tapi gak balik-balik. Bikin gue kesel tau, nggak? Untung aja nyokap nyegah gue biar nggak ninggalin lo di sini. Oh iya, tadi gue ketemu Bang Reno di dalem.” Deka menyambutnya dengan serombongan kalimat tidak penting yang diucapkannya hanya dalam satu tarikan napas. Gila, nih anak abis isi perut bacotnya makin jago aja, pikir Marisa dalam hati.
                Tunggu! Tadi Deka bilang apa di akhir ucapannya? Ketemu Reno? Jadi dia juga ketemu Reno di dalem?!  Marisa membelalakan matanya ketika sadar apa yang Deka ucapkan.
                “Gardeka Almalik Notosundjoyo...” Marisa menyebutkan nama lengkap adiknya yang membuat si empunya nama menengok ke arahnya ketika akan membuka pintu sopir. “Lo beneran ketemu Reno di dalem?” Lanjutnya. Suaranya yang bergetar—meski sudah ia usahakan senormal mungkin agar nggak ketahuan Deka—membuat sang adik berkerut kening.
                “Mbak, kita omongin di rumah aja, ya? Kasian mama papa nungguin kita. Mereka udah capek,” Deka yang mengerti keadaan sang kakak segera masuk ke dalam mobil disusul Marisa.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Mbak, gue boleh masuk, nggak?”
                Sebuah suara yang sudah sangat ia kenal menyadarkan Marisa dari lamunannya. Gadis itu segera menyeka air mata yang hampir mengering di pipinya dan melirik jam dinding yang ada di kamarnya. Sudah hampir tengah malam karena jam menunjukan pukul 11 lewat.
                “Masuk aja, dek. Pintunya nggak gue kunci, kok.” Marisa mempersilakan adiknya masuk.
                Deka masuk dengan membawakan dua gelas cokelat hangat yang baru saja ia buat di dapur. Cowok yang hanya terpaut 3 tahun lebih muda dari sang kakak itu menampilkan cengiran lebarnya ketika Marisa menatapnya heran. “Hai, Mbak.”
                “Ada apaan lo malem-malem main ke kamar gue?” tanya Marisa penuh selidik. Matanya menyipit dan mengikuti setiap gerak-gerik Deka yang mendekat ke arahnya setelah sebelumnya menutup pintu.
                “Mata lo nggak usah dibikin sipit gitu ah, Mbak. Syukurin aja kodrat lo yang terlahir sebagai orang Indonesia, bukan orang Jepang dengan mata sipit.” Deka mengabaikan pertanyaan Marisa.
                Marisa melempar bantal kecil yang sedang ia peluk ke arah Deka. Namun sayang, lemparannya meleset dan malah mengenai TV layar datar yang ada di dinding kamarnya.
                Deka terkekeh kecil dan menyerahkan salah satu cokelat panas yang ada di tangannya. Marisa masih bergeming menatapnya. Deka menghela napas dan berkata, “Tenang aja, Mbak. Cokelatnya nggak gue kasih racun tikus ataupun cairan kimia, kok. Mau bukti?”
                 Gadis berambut ikal tersebut melemparkan tatapan kesal kepada Deka dan mengambil gelas tersebut. Sebelum meminumnya, ia menghirup wangi cokelat panas yang selalu menenangkan hatinya sembari menutup matanya dan duduk bersila di atas kasur. Deka memperhatikan itu semua seraya menyeruput minumannya sendiri.
                “Mau cerita?” tawar Deka ketika melihat air muka kakaknya yang sudah agak baikan. Deka memang selalu siap untung mendengarkan segala keluh-kesah Marisa sejak dulu. Jarak umur yang tidak terlalu jauh serta kebiasaan saling curhat seperti inilah yang membuat mereka sangat dekat. Bahkan, ketika di Jepang pun Marisa rela menguras kantongnya hanya untuk menelpon Deka yang terkantuk-kantuk mendengarkan ceritanya—karena Marisa menelponnya tengah malam.
            Dengan pandangan menerawang Marisa memulai ceritanya, “Lo inget kan penyebab gue pisah sama Reno dulu?” Ketika melihat Deka mengangguk, ia melanjutkan. ”Waktu itu gue ngerasa udah ngelakuin hal yang bener. Merelakan orang yang gue cintai bersama orang lain dan kabur dari masalah. Gue nggak kuat kalo harus terus-menerus didesak orang itu untuk pergi dari hidup Reno.” Marisa tersenyum pahit mengingat masa lalunya. Bahkan, untuk menyebut nama seseorang yang telah menjadi perusak hubungannya pun ia tak kuat—dan tak sudi.
                Deka masih terdiam saat Marisa melanjutkan, “Dan sekarang... sekarang gue ngerasa bodoh. Gue nyesel, Dek. Gue pikir keputusan gue untuk pulang ke Jakarta itu hal yang biasa, gue nggak ada pikiran akan ketemu Reno lagi. Tapi—” suaranya tertelan isak tangis yang mendesak untuk keluar. Deka segera meletakan gelas yang dipegang Marisa sebelum terlepas dari genggaman gadis tersebut. Marisa merebahkan kepalanya ke dada bidang milik sang adik yang langsung disambut hangat oleh Deka.
                Deka sangat tahu bagaimana terpukulnya Marisa atas kebodohan yang ia lakukan di masa lalu. Hanya isak tangis Marisa yang masih menggema di kamar tersebut sebelum gadis berkulit putih bersih tersebut membuka suara, “Tadi gue ketemu Reno pas balikin piring. Awalnya gue cuma diajak kenalan sama orang yang nabrak gue pas mau ambil makanan, tapi gue nggak ngeh kalo Reno ada di sebelah dia. Sampai orang tersebut mengenalkan Reno sebagai sahabatnya.” Suara gadis itu kini sudah mulai normal walaupun isakan kecil masih terdengar disela-sela kalimatnya. “Gue kaget.. nggak tau mau ngomong apa. Kalo boleh jujur, gue kangen... kangen banget sama dia, Dek. Kalau lo tanya gue masih sayang sama dia, gue akan jawab iya. Tapi kalo lo tanya gue masih cinta sama dia, gue ragu untuk jawab iya.”
                Deka menghembuskan napasnya perlahan, tangannya membelai rambut kakak semata wayangnya dengan lembut. “Kalo gitu, kenapa lo nangis sekarang? Kenapa tadi lo nggak bilang ke dia kalo lo kangen sama dia, lo masih sayang sama dia?”
                “Gue nggak bisa, Deka!” Marisa menjauh dari dada Deka.
                “Keputusan semua di elo, Mbak. Gue sebagai adik cuma bisa mendukung dan memberi masukan. Udah malem, tidur gih. Gue mau balik ke kamar aja.” Deka bangkit berdiri dari kasur Marisa yang tadi didudukinya. Sebelum menutup pintu ia berkata, “Kalo butuh tempat curhat atau nangis-nangis bombay kayak tadi, panggil gue aja. Gue siap kok jadi tempat lo berkeluh-kesah, wahai kakakku yang cantiknya selangit ini.” Ia mengerling jail kepada Marisa dan segera menutup pintu sebelum bantal-bantal mulai melayang ke arahnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Seharian ini Marisa hanya mengurung dirinya di kamar. Keluar hanya kalau lapar atau ingin ke kamar mandi. Deka yang sedang libur kuliah merasa kasihan melihat kakak perempuan satu-satunya terlihat murung seharian. Oleh karena itu, Deka mengajak Marisa jalan-jalan. Awalnya Marisa sempat menolak, namun melihat wajah memelas Deka yang merasa bosan di rumah terus ia mengiyakan ajakan sang adik.
                Marisa sedang melihat-lihat berbagai macam tas yang terpajang di etalase sebuah toko tas bermerk terkenal ketika Deka menepuk pundaknya. “Mbak, gue ke toilet dulu ya, kebelet nih.”
                Marisa hanya mengangguk dan Deka segera berlalu dari hadapannya. Sepeninggal Deka ia memasuki toko tersebut dan memperhatikan desain tas-tas mahal yang terpajang di sana. Sekilas matanya menatap sebuah tote bag yang menurutnya ‘cantik’ dengan desain simple berwarna biru muda dan memikat matanya. Matanya mencari-cari price tag tas yang memikat hatinya ini dan segera mengembalikan tas tersebut ke tempatnya semula ketika melihat nominal harga yang tertera di sana.
                US$339.00
                Tote bag tersebut memiliki nominal angka yang sanggup membuat Marisa harus berpikir dua kali untuk membelinya. Ia harus merelakan separuh uang bulanan yang diberikan oleh papannya hanya untuk tote bag itu. Bisa mati aku dipenggal mama!
                Marisa memilih keluar dari toko tersebut dan mencari keberadaan Deka yang tak kunjung menghampirinya. Saat sedang menolehkan kepalanya ke arah toilet laki-laki berada, ia merasa tubuhnya ditabrak sesuatu, bukan, tapi seseorang. Saat tubuhnya hampir menyentuh lantai lengan kirinya langsung ditarik oleh orang dibelakangnya. Ia segera menolehkan kepalanya untuk melihat siapa orang yang telah menabraknya. Marisa melongo ketika matanya bertatapan langsung dengan orang tersebut.
                Reno!
                Deka yang melihat kekagetan di mata sang kakak langsung menengahi, “Mbak, lo nggak papa kan?”
                Marisa tersadar begitu pula Moreno yang sempat terperangah melihatnya. “Kok...?” Ucapan Marisa terhenti ketika Deka menyala.
                “Tadi kita ketemu di Starbucks, kebetulan Bang Reno mau ke lobby utama. Karena kita satu arah, aku ajak Bang Reno buat jalan bareng aja.”
                “Starbucks?” Marisa bertanya tidak mengerti.
                Deka nyengir sebelum berkata lagi, “Abis dari toilet gue mampir ke Starbucks, Mbak.”
                “Hai..” Moreno besuara.
                Marisa merasa canggung dengan keadaan ini, ia memilih untuk menampilkan senyumannya.
                “Kamu kemana aja selama ini?” Tiba-tiba Moreno bertanya dengan suara penuh kerinduan. Marisa terdiam.
                “Kuliah,” balasnya singkat.
                Moreno masih menatap Marisa dengan sorot mata yang memancarkan kerinduan mendalam terhadap gadis di depannya.
                Marisa mengalihkan pandangannya pada Deka. “Pulang yuk,” ajaknya. Deka mengangguk dan Marisa langsung menggamit lengannya. “Duluan ya, Ren.” Ucapnya sambil tersenyum sekilas pada cowok latino itu.
                Moreno hanya mengangguk dan memperhatikan punggung Marisa yang semakin menjauh dari pandangannya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Mbak, kenapa sikap lo tadi kayak gitu sih?” tanya Deka ketika mobil mereka sudah meluncur di atas jalanan ibu kota yang—tumben—malam ini lengang.
                Dahi  Marisa berkerut heran mendengar pertanyaan Deka. “Kayak gitu gimana maksud lo?”
                “Yaa.. Gitu.” Ia menjawab. Marisa semakin bingung. “Kenapa lo nggak ngobrol banyak sama dia? Gue tuh sengaja ajak dia jalan bareng ke arah lobby supaya ketemu sama lo, Mbak. Gue pikir, kalian bisa kangen-kangenan melepas rindu. Eh, nggak taunya malah diem-dieman kayak bocah baru kenal cinta.”
                Seandainya ada kain lap didekatnya, Marisa ingin sekali menyumpal mulut adik sablengnya ini. “Nggak usah bahas itu bisa?” Nada suara Marisa terdengar dingin di telinganya sendiri.
                Deka memilih menutup mulutnya.
                “Gue tau kalo lo masih sayang sama dia, Mbak. Cinta bahkan,” ucap Deka tiba-tiba. “Tapi, apa lo nggak bisa maafin dia?” lanjutnya lagi.
                “Maaf? Maksud lo?”
                “Mungkin aja kesalahan yang dulu itu cuma akal-akalan orang itu,” Deka menjalankan mobilnya memasuki komplek perumahan mereka. Di luar bulan purnama tampak bersinar penuh mengikuti mobil mereka.
                “Akal-akalan?”
                Deka mengklakson seorang cowok dan nyengir kepada orang yang ia klakson barusan. Ternyata itu Fiko, sahabatnya sedari kecil yang rumahnya hanya beda beberapa blok dari mereka. “Gue yakin, Bang Reno nggak mungkin ngelakuin hal sebejat itu. Pasti mak lampir sialan itu yang bikin cerita ngarang kayak gini.”
                Kalimat Deka barusan berhasil membuat Marisa terdiam. Otaknya sibuk berpikir sambil sesekali mengulang masa lalunya.
                “Mbak, mau sampe kapan lo duduk disitu terus? Udah nyampe, nih. Gue nggak mau diomelin nyokap cuma gara-gara ninggalin lo di sini dan kehabisan oksigen.” Deka memecah keheningan.
                Marisa mencibir sekilas dan segera melepas seat-beltnya. Saat tangannya bergerak untuk membuka pintu, suara Demi Lovato mengalun dari dalam tasnya. Dahinya berkerut heran ketika melihat siapa yang menelponnya, private number. Karena penasaran, Marisa menjawab panggilan tersebut. Deka memutuskan untuk melangkah ke dalam rumah setelah menghidupkan key alarm tanda pintu mobil telah terkunci.
                “Halo..”
                Hening. Tidak ada jawaban.
                “Halo?” Marisa masih menunggu dengan sabar. Hanya suara-suara bising yang sekarang terdengar dari seberang sana. Tak lama sambungan terputus. Marisa menatap ponselnya dengan heran. Ia memilih untuk mengabaikan keanehan barusan dan melangkah memasuki rumahnya.

No comments:

Post a Comment