Sunday, October 20, 2013

Hate That I Love You (Part 7)

Haloooo, kembali lagi sama author yang absurd dan masih cere ini. Kali ini gue balik bawain cerita yang judulnya Hate That I Love You. Kalo boleh cerita dikit sih, cerita ini terinspirasi dari lagunya Rihanna ft. Ne-Yo dengan judul yang sama. And guess what! Gue dapet ide untuk bikin cerita ini ketika lagi 'nongkrong' di kamar mandi. Emang deh, nongkrong di kamar mandi itu salah satu tempat gue mencari dan mendapatkan inspirasi selain tempat ramai. Oh iya, kalo ada yang punya akun Wattpad juga bisa baca cerita gue di akun gue, unamenya auliaravina. Oke deh, cukup sekian cuap-cuapnya. Enjoy it, guys!


Part 7 – The Awkward Moment Is When...
Babe,” Stevent menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan Vannesa. Vannesa yang merasa risih karena dibuntuti terus sejak tadi meliriknya dengan tatapan tajam.
                “Sekali lagi lo panggil gue pake sebutan babe, ini sedotan melayang ke mata lo!” ancamnya.
                “Ih, kok kamu galak banget, sih, hon?” Steve mengubah panggilannya kepada Vannesa. Ia berusaha menahan tawanya karena melihat wajah kesal Vannesa yang menurutnya sangat menggemaskan.
                “Stevent!”
                “Apa?”
                “Stop act like you are my boyfriend!
                “We’re a couple, right? Wajar dong kalo gue manggil lo dengan panggilan-panggilan kesayangan itu,” jawab Stevent dengan polosnya.
                Vannesa mendengus mendengar jawaban Steve. Ia kembali meminum jus jeruknya yang tersisa setengah gelas lagi. Tanpa mereka berdua sadari, seorang gadis mengawasi tingkah mereka tidak jauh dari tempat mereka duduk. Gadis tersebut mengepalkan tangannya di atas meja kantin. Matanya berkilat marah melihat Stevent yang merayu Vannesa.
                “Steveeee!! Bisa diem nggak?! Petakilan banget, sih,” Nessa bersungut-sungut melihat Steve yang menggodanya dengan gombalan-gombalan absurd dan membuatnya ingin muntah.
                “Nessa cantiiikk, ntar pulang sekolah jalan, yuk?” Steve mendekatkan wajahnya ke pundak Nessa sambil memainkan alisnya naik turun.
                “Ogah,” jawab Vannesa cepat.
                “Jawabnya cepet amat, babe. Nggak mau dipikir-pikir dulu, hmm?”
                “Males.”
                “Oke, deh. Kalo kamu nggak mau jalan itu artinya aku yang main ke rumah kamu, yaa..”
                “No way—!
                “Yes way,” sela Stevent cepat. Wajahnya dihiasi senyum jail dan membuat Vannesa bergidik ngeri.
******************************************************************************
“Hai, babe,” Vannesa terhuyung sedikit ke belakang ketika tiba-tiba Stevent menghalangi jalannya yang hendak melangkah menuju gerbang sekolah. Hari ini supir yang khusus mengantar dan menjemputnya sedang menggantikan tugas Pak Min—supir pribadi sang Mama—yang sedang sakit.
                “Ck! Bisa nggak, sih lo nggak ganggu gue sehariii aja?” tanya Vannesa kesal.
                “Nggak bisa,” jawab Steve dengan polosnya. Cengiran lebar menghiasi wajahnya melihat Vannesa menghentak-hentakkan kakinya ke tanah.
                “Yuk,” ajak Steve dan menggandeng tangan Vannesa menuju tempat mobilnya diparkir.
                Vannesa menatap Stevent dengan heran. “Loh? Mau kemana?”
                “Pulang, gue kan udah bilang tasi pas istirahat mau anterin lo pulang. Lupa?”
                “Nggak usah, gue bisa pulang sendiri, kok.” Vannesa melepaskan tangannya yang digenggam Steve—dan sialnya Stevent makin mengeratkan genggamannya pada  tangan Vannesa.
                “Steve lep—”
                “Lo pulang bareng gue,” ucap Stevent tegas tak terbantahkan. Vannesa merengut sebal dan mengikuti Stevent yang berjalan ke arah parkiran.
                “Hai, Steve,” seorang gadis yang lebih tinggi beberapa senti dari Vannesa tiba-tiba mendekati Stevent.
                “Hai, Wen, tumben belum pulang?” sapa Steve dengan gayanya yang khas—cool dan cuek.
                “Iya, nih. Gue hari ini nggak bawa mobil, anterin gue pulang ya, Steve?” Wenda berkata dengan nada yang dibuat-buat manja. Vannesa memperhatikan gadis di hadapannya dengan seksama.
                Who’s she?
                “Sorry, Wen, gue udah ada janji sama pacar gue mau anterin dia pulang.” Tolak Stevent halus.
                “Nggak apa-apa kok, lo bisa anter pacar lo ke rumahnya dulu. Abis itu lo bisa anter gue ke apartemen gue, gimana?” tanya Wenda.
                “Duh, gimana ya, gue hari ini ada rencana mau main ke rumah Vannesa. Ya, kan, babe?” Steve menoleh kepada Vannesa yang masih memerhatikan Wenda dengan pandangan kesal.
                Vannesa melongo mendengar ucapan Stevent. “Ha? Kan lo cuma mau anterin gue doang, kak!” Tolak Vannesa.
                “Rencana berubah, gue mau mampir di rumah lo. Yaa sekedar silaturahmi sama calon mertua,” jawab Steve.
                Wenda menatap Vannesa dengan sinis, kesal merasa tidak dianggap.
                “QUÉ?! Futuros suegros? You wish!” Vannesa memukul lengan Stevent seraya menekuk wajahnya. [APA?! Calon mertua?]
                “Gue suka kalo lo ngomong Spanish, babe. It sounds sexy,” Steve mengerling jahil pada Vannesa. Mereka berdua sibuk berbicara tanpa memperdulikan Wenda yang rasa kesalnya sudah mencapai ubun-ubun.
                “Steve,” ucap Wenda berusaha menyela percakapan keduanya.
                Stevent menoleh, “Ya?”
                “Gue boleh nebeng nggak, nih?”
                Hati kecil Vannesa berteriak kesal mendengar Wenda terus berusaha agar Stevent mau mengantarnya pulang. Dasar cewek nggak tau malu!
                Vannesa tidak tahu apa penyebab ia bisa merasa sekesal ini. Seingatnya ia tak pernah suka pada Stevent. Gue nggak mungkin cemburu, kan? Pertanyaan tersebut terus ia ulang di benaknya sampai ketika Steve mengucapkan sesuatu yang membuyarkan lamunannya.
                “Lo pulang naik taksi aja emang nggak bisa, ya?” Steve menahan rasa kesalnya akibat ulah Wenda yang terus mendesaknya. Ia tidak habis pikir, kenapa cewek ini terus memaksanya agar ia antar pulang. Memangnya di luar sana taksi sudah musnah hingga harus dia yang mengantarnya pulang?
                “Ta..tapi—”
                “Tuh ada Fiko, dia bawa motor. Lo bisa nebeng sama dia. Tenang aja, Fiko jomblo, kok.” Ucap Steve santai. Ia menunjuk Fiko, teman sekelasnya yang terkenal kutu buku dan kuper walaupun mempunyai wajah yang bisa dibilang lumayan.
                Wenda berdecak kesal. Ia gondok setengah mati dengan sikap Stevent yang menolaknya sejak tadi. Si Vannesa ini pake pelet apa, sih, sampe si Stevent betah banget nempel sama dia? Ia bertanya-tanya dalam hati. Dengan kesal, Wenda menghentakan kakinya ke tanah dan berjalan menuju gerbang meninggalkan Stevent dan Vannesa yang memperhatikan tingkahnya dengan heran.
******************************************************************************
“Assalamu’alaikum,” Vannesa mengucapkan salam seraya mendorong pintu utama rumahnya.
                “Duduk dulu aja, kak. Gue mau ganti baju dulu. Mau minum apa?” tanyanya pada Stevent yang sedang menghempaskan badannya ke atas sofa beludru berwarna cokelat muda yang ada di sana.
                “Air putih dingin aja.”
                “Oke, tunggu bentar, ya.”
                “Take your time, honey.” Stevent mengerling jahil pada Vannesa yang hanya dibalas cibiran oleh gadis tersebut.
                Vannesa melangkah menuju pantry dan mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas. Ia melihat Lucia yang sedang membuat pancake dibantu Bik Icah.
                “Aku mau dong pancakenya,” pinta Vannesa. Ia menuang air mineral ke dalam sebuah gelas untuk Steve.
                “Don’t worry, sweetie. I’ve make for you, the one that use honey on it.” Jawab Lucia.
                “Umm.. Bikin satu lagi, dong. Ada temen aku di depan.”
                “Temen apa pacar, Non?” goda Bik Icah. “Barusan Bik Icah liat yang lagi duduk di depan cowok, tuh.”
                “Ha? Eh..” Vannesa gelagapan digoda seperti itu oleh Bik Icah. Wajahnya bersemu merah.
                “Haaaa, you are blushing. Itu berarti tebakan Bik Icah bener, dong?” Lucia bersuara.
                “Pokoknya aku pesen pancake satu lagi ya, pake topping ice cream vanilla di atasnya,” ucap Vannesa sebelum melesat keluar dari pantry.
                “Nih, kak, minum dulu.” Vannesa menyodorkan segelas air mineral dingin pada Stevent. “Gue ke kamar dulu, ya,” pamitnya yang hanya dibalas anggukan oleh Steve.
                Sepeninggal Vannesa, Stevent sibuk meneliti foto-foto yang terpajang di dinding dan meja yang terletak di sudut ruangan. Steve mulai terbiasa dengan rumah ini walaupun ia baru tiga kali memasuki rumah keluarga Vannesa.
                Tanpa Steve sadari, Vannesa sudah berdiri di belakangnya. “Lo lagi ngapain, kak?” Vannesa bertanya menyelidik.
                “Eh! Astagfirullah, kamu bikin aku kaget aja, babe!” Stevent berbalik untuk melihat Vannesa.
                PRAANGG!
                Tanpa sengaja tangan Steve menyenggol pigura yang ada di atas meja. Pigura tersebut terjatuh dan kacanya pecah. Vannesa langsung berjongkok untuk membereskan pecahan kaca yang ada agar tidak melukai orang lain. Sedikit rasa kesal muncul di hatinya karena Steve kurang berhati-hati.
                “Eh, sorry, Ness. Gue nggak sengaja,” ucap Steve panik. Ia membantu Vannesa membereskan pecahan kaca yang tercecer.
                “Aww..” Vannesa merintih kesakitan karena jari tangan kanannya terkena pecahan kaca yang tajam. Stevent langsung menghampirinya dan mengisap darah yang keluar dari jari telunjuknya. Vannesa merasa ada yang berdesir di hatinya ketika Stevent melakukan hal tersebut padanya. Ia menatap Stevent dalam diam.
                “Nah, darahnya udah nggak keluar lagi. Bersihin dulu di air mengalir...” Stevent mengangkat kepalanya dan pandangannya langsung tertuju ada mata Vannesa. Keduanya sama-sama terdiam. Jarak mereka sangat dekat satu sama lain.
                “Ng.. Gue ke belakang dulu, deh, kak.” Vannesa yang pertama kali memecah keheningan di antara mereka. Suasana canggung meliputi mereka berdua.
                “Eh, ya, udah. Abis itu ambil kotak P3K, ya, biar gue obatin.”
                Vannesa tidak langsung beranjak dari tempatnya, melainkan kembali diam dan menatap Stevent.
                “Apa lagi?” tanya Steve bingung.
                “Eh, oh, eng-enggak, kok.” Vannesa segera beranjak dari posisinya dan berlari menuju kamar mandi yang ada di dekat pantry.
                Di dalam kamar mandi, Vannesa langsung membasuh tangannya seraya menenangkan degup jantungnya.

                What’s wrong with me?



*Note: DO NOT PLAGIARIZE MY WORK!

Wednesday, August 14, 2013

Secret Angel

Holaaaaaaaaa, aku balik lagi dengan cuplikan cerbung baruku nih. (Padahal mah yang lama juga belom kelar, hehe) *digetok readers* Semoga suka yaa! :)

Title: Secret Angel
Author: auliaravina
Genre: Action, Romance
Age: 15+

“Berhentilah menembak dan dengarkan aku,” gadis di seberang sana berdecak jengkel. Ia sangat tahu kalau Ve sudah menggenggam benda kesayangannya—alias pistol—maka ia bisa melupakan sekitarnya.
                Vellarie segera menurunkan pistolnya dan terkekeh pelan. Ia menyingkir ke pinggir lapangan tembak dan meraih cangkir teh cammomile-nya. “Jadi—”
                “Pastikan kau sudah melepaskan tanganmu dari benda hitam panjang yang mampu menghilangkan nyawamu sendiri,” sela gadis tersebut sebelum Ve sempat berbicara. Ve tersadar dan melirik tangan kirinya yang masih menggenggam pistol kesayangannya. Ia meletakannya di sebelah cangkir teh cammomile-nya dan menarik napas panjang.
                “Ada apa, Cloe? Tumben sekali kau menelponku sepagi ini,” kata Vellarie seraya melirik jam tangannya. Jam 8 tepat. Seingatnya semalam Cloe—sahabat sekaligus partner in crime-nya—mendapat tugas dari boss mereka untuk memata-matai target mereka yang sedang melakukan transaksi obat-obatan terlarang serta penyelundupan pistol secara ilegal di dermaga dan gadis itu terpaksa pulang larut malam—larut pagi lebih tepatnya, sekitar pukul 3 dini hari. Kalau sudah pulang selarut itu, maka jangan harap Cloe akan membuka matanya jam segini.
                “Huh, kalau bukan karena boss kita yang penyayang satu itu aku tak mau membuka mataku sepagi ini.” Cloe mengeluh dan mendengus kesal. Jam tidurnya akhir-akhir ini berkurang drastis karena harus memata-matai target mereka setiap malam bersama Joseph, si penggoda wanita anggota FBI. Dan sialnya, ia tak bisa fokus memata-matai target mereka bila Joseph selalu mencari kesempatan dalam kesempitan untuk menyambar bibir mungilnya. Alasan yang dilontarkan lelaki itu selalu sama, “Untuk menghindari kecurigaan mereka dengan menyamar sebagai sepasang kekasih,” ujarnya santai.
                Vellarie tersenyum geli membayangkan bagaimana merahnya wajah sahabatnya satu itu ketika bibirnya dilumat habis oleh playboy cap tapal kuda satu itu. “Jadi, apa yang membuat boss kita tercinta itu membangunkanmu?” tanyanya lagi.
                “Prepare yourself. We gonna get a big job tonight,” nada suara Cloe berubah menjadi lebih serius.
                “Big job? What big job are you purpose here?” Ve mengernyit heran. Tidak biasanya nada suara Cloe berubah menjadi serius seperti ini, apalagi yang sedang ia bicarakan adalah masalah pekerjaan. Cloe orang yang termasuk santai dalam urusan pekerjaan, sangat santai malah. Tanpa Ve ketahui, Cloe menyeringai senang di seberang sana.
                “Sudahlah, kita bicarakan ini nanti. Oh, ya, jangan lupa untuk berdandan yang cantik namun sexy. Kita akan menyamar sebagai pelanggan club. Aku jemput kau jam 8 malam. Sekarang boss menyuruh kita untuk kembali ke markas.”

                Cloe memutus sambungan sebelum Ve berbicara lagi. Hhh, anak ini!

Thursday, August 8, 2013

Heart Attack (Part 5-6)

Part 5 – Perusak Masa Lalu
“Dek, itu kakakmu kenapa kok pulang-pulang matanya sembab?” Tiara masuk ke kamar Deka tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. Deka yang sedang membaca komiknya dalam posisi baling-baling—kepala di bawah, kaki di atas—dengan sigap mengubah posisinya menjadi duduk tegak.
                “Lah? Emang tuh anak abis ngapain?” Deka bertanya balik dengan tampang bodohnya.
                “Hush, kamu itu! Ditanya kok malah nanya balik, sih?”
                Deka menggaruk tengkuknya. “Yaa.. Kan Mama abis dari luar terus ngeliat Mbak Marisa pulang, jadi wajar kalo aku nanya balik. Wong dari tadi aku di sini terus, kok.” Deka berkelit.
                “Oh, iya ya? Mama lupa,” Tiara terkekeh pelan melihat anak bungsunya cemberut kesal.
                Deka melupakan kekesalannya dan menatap mamanya kembali dengan serius, “Mbak Marisa pulang dengan mata sembab?” tanyanya serius.
                “Iya. Gih, sana kamu samperin dia ke kamarnya.” Tiara mendorong anaknya keluar kamar.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Mbak?” terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar Marisa diiringi suara Deka yang memanggil-manggil namanya. Marisa masih saja bergeming dalam posisinya sekarang; duduk memeluk lutut di atas kasurnya. Matanya sudah bengkak akibat menangis sepanjang perjalanan pulang tadi.
                “Mbak..” Deka kembali bersuara.
                Marisa segera menghapus air matanya. Ia tidak akan menutupi keadaannya pada Deka tapi ia juga tidak ingin Deka melihat wajahnya sekarang. Ia yakin kalau ia tidak menghapus air mata yang menggenang di kedua pipinya yang sedikit chubby, Deka pasti akan menertawakannya. “Apa?” suaranya terdengar serak khas orang yang sedang menangis.
                “Gue masuk, ya?”
                “Hmm..” Marisa bergumam tidak jelas. Pintu kamarnya terbuka dan muncul Deka yang hanya menggunakan kaos oblong berwarna putih dan celana pendek selutut, di tangannya ada segelas cokelat hangat. Berhubung hujan mulai turun dengan derasnya sejak Marisa masuk ke kamar, Deka berinisiatif membuatkan cokelat hangat kesukaan sang kakak.
                “Kenapa mata lo? Kencan lo gagal, Mbak? Idih, ditanya malah nangis. Kayak bocah lo,” Deka mengakhiri kalimatnya dengan cibiran.
                Marisa kembali sesenggukan. Di kepalanya kembali terbayang kejadian di taman tadi. “Dek..”
                “Ha?” Deka menyahut seraya merebahkan tubuhnya di sebelah Marisa.
                Marisa mengambil napas panjang sebelum berkata, “Lo kenal perempuan laknat itu?”
                Deka menaikan sebelah alisnya tinggi. Siapa pula yang dimaksud oleh kakaknya ini? “Perempuan laknat? Siapa, tuh?” tanyanya penasaran.
                “Elletha..” Marisa memberanikan diri untuk menyebut nama seseorang yang sangat sangat dibencinya sejak empat tahun lalu.
                “Ng? Lo ngapain nyebut-nyebut nama perempuan sialan itu di sini, Mbak?” Emosi Deka mulai tersulut mendengar nama yang diucapkan Marisa.
                “Deka, I’m serious now! Just answer my question, please!” Marisa memohon.
                Deka menghembuskan napasnya keras. “Gue nggak kenal dia. Tapi temen gue kenal sama adeknya.”
                “Siapa nama adiknya?”
                “Lo kenapa jadi kepo sama asal-usul manusia jalang itu sih, Mbak?”
                “Jawab aja!”
                “Veno Anggara.”
                “Anggara?” Marisa mengernyitkan dahinya heran. Sepertinya ia tidak asing dengan nama itu.
                Deka bangkit dari posisi berbaringnya dan mengambil gelas yang berisi cokelat hangat yang ia letakan di atas meja nakas. “Nih, minum dulu,” perintahnya.
                Marisa menurut dan menghirup aroma cokelat hangat tersebut. Seketika perasaannya sedikit tenang dan menghangat. “As usually, hot chocolate always make me calm.” gumamnya.
                “Lo kenal sama salah satu anggota keluarga Anggara, Mbak?” tanya Deka.
                Marisa terdiam dalam kurun waktu yang cukup lama. Ia merasa seperti pernah kenal dengan salah satu Anggara. Tapi dimana? Beberapa detik kemudian Marisa tersentak. “Beno Anggara..” tanpa sadar Marisa menggumam kencang.
                Deka langsung menoleh ke arahnya. “Lo nyebut nama siapa tadi, Mbak? Beno Anggara? Itu kan managing director di perusahaan ANG Group, dia sepupu Veno dan Elletha—si perempuan kurang ajar itu!” Elletha yang sejak tadi mereka sebut-sebut memang menyandang nama ‘Anggara’ sebagai nama keluarganya. Elletha, gadis yang menjadi awal dari kehancuran hubungan Marisa dengan Reno.
                “Tadi gue ketemu dia.” Deka terdiam mendengar ucapan kakaknya.
                “Dia siapa?” tanyanya bingung. Omongan mereka sedari tadi memang kurang jelas dan hanya berputar di nama ‘Anggara’. Hal itu membuat Deka bingung setengah mati.
                “Elletha Anggara..”
                “WHAT?!! You met her? How could—
                “Dia datang dan langsung manggil Reno tanpa memperdulikan gue yang ada di sebelahnya. Dia langsung cium Reno dengan membabi buta. Bikin gue muak sekaligus jijik liatnya!” Emosi Marisa kembali naik dan air mata kembali jatuh dari sudut matanya. Deka hanya mampu ternganga mendengarnya.               
                “Dia nggak tau malu. Cium orang seenaknya di tempat umum!” Marisa kembali meracau.
                “Mbak..” Deka bingung harus berkata apa.
                “Gue mau tidur,” ucap Marisa tiba-tiba dan mengambil posisi berbaring seraya menarik selimut hingga menutupi lehernya. Belum sempat Deka mengutarakan beberapa pertanyaan, suara napas yang beraturan milik Marisa terdengar tanda ia sudah terjun ke alam mimpi.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Lo!” Gadis tersebut menarik rambut panjang Marisa. Membuat Marisa memekik kesakitan.
                “Tinggalin Reno sekarang juga!”
                “Tha.. Sakit,” rintih Marisa.
                “Gue baru mau lepasin kalo lo setujuin keinginan gue supaya lo putus sama Reno!”
                “Elletha! Kenapa sih lo kejam banget? Apa salah gue, hah?” Marisa mencoba melawan.
                Gadis yang dipanggil Elletha tadi menyeringai, “Salah lo? Banyak! Salah satunya adalah hubungan lo dengan Reno sebagai pacar. Itu kesalahan fatal! Lo nggak pantes berhubungan sama Reno. Because you are a commoner!
                “And for your information,” Elletha kembali melanjutkan. Tangannya semakin rajin menarik rambut panjang Marisa hingga membuat Marisa meringis karena rasa perih di kepalanya. “Gue dan Reno udah pernah tidur bareng!” Elletha mengucapkan kalimatnya dalam suara rendah namun tegas.
                Seketika mata Marisa melebar tak percaya. “K-Kapan?” tanyanya.
                “Sepulang dari pesta ulang tahun Merlin,” ucapnya puas melihat wajah Marisa yang berubah pucat pasi.
                Dengan segenap keberanian yang ada, Marisa menghentakan tangan yang menarik rambutnya sejak tadi dan memelintirnya kebelakang. Mempraktikan salah satu jurus aikido yang ia pelajari dari temannya.
                “Lo pasti bohong,” Marisa mulai emosi sementara Elletha mulai meringis karena tangannya dipelintir ke belakang.
                “Gue nggak bohong,” tegasnya.
                Tiba-tiba Marisa melepaskan pegangannya pada tangan Elletha. Raut wajahnya datar tanpa ekspresi dan emosi. Namun di dalam hatinya ia memendam kekecewaan yang mendalam pada pacarnya, Reno. Reno telah menghianatinya!
                “Oke.. Kalo emang itu mau lo, gue mau tinggalin Reno.” Suaranya bergetar menahan tangis sementara Elletha tersenyum puas walau harus menahan sakit dipergelangan tangannya akibat pelintiran tadi.
               
Dengan napas terengah-engah, Marisa bangun dari tidurnya. Ia mimpi buruk lagi. Mimpi yang memang kejadian nyata.
                Tenggorokannya terasa kering. Ketika melihat jam dinding yang ada di kamarnya, keningnya berkerut heran. Jam setengah empat sore. Baru satu jam ia tidur dan ia sudah dihantui mimpi buruk. Ia memutuskan untuk turun ke bawah mengambil segelas air dan melanjutkan tidurnya. Tubuhnya masih terasa lelah padahal ia tidak melakukan pekerjaan berat.
                Sebelum turun dari tempat tidurnya, ia menyempatkan diri untuk mengecek ponselnya. Benar saja, lima panggilan tidak terjawab dari sebuah nomor yang tidak ia kenal masuk ke ponselnya serta satu pesan dari nomor yang tak dikenal juga.
From: +6285767******
Sekali lagi lo coba deketin Reno, lo akan menuai badai untuk diri lo sendiri!
                Seketika wajah Marisa pucat pasi. Hanya ada satu nama yang melintas di otaknya saat ini,
                ELLETHA!














Part 6 – Moreno’s POV
What the hell—?” Moreno menggeram marah pada gadis yang duduk di pangkuannya ini. Dari ekor matanya ia melihat Marisa menyetop sebuah taksi yang lewat dan segera masuk ke dalamnya. Ia yakin, Marisa pasti sedang menahan tangisnya tadi.
                “Renooo.. Aku kangen kamu,” ucap gadis tersebut. Nada suaranya manja dan entah kenapa hal itu membuat Reno muak seketika. Dengan satu sentakan keras ia menyingkirkan perempuan tersebut dari pangkuannya. Matanya berkilat-kilat marah. Namun gadis tersebut tidak merasa takut.
                “Renoooo,” rajuk gadis itu lagi.
                “Stop it, Elletha! Mau apa kamu ke sini, hah?!”
                Gadis yang dipanggil Elletha itu memanyunkan bibirnya kesal. “Kamu nggak kangen sama aku?” ia bertanya balik.
                “You wish! Now, get out of my sight,” Reno berteriak kesal.
                “Tapi aku masih kangen sama kamu, Reno!” Elletha mendelik kesal pada Reno yang sekarang sudah berdiri di depannya.
                Reno menggeram marah. Perempuan lancang ini sukses merusak harinya dengan membuat emosinya naik. Ia melangkah meninggalkan Elletha. Reno hampir membuka pintu mobilnya ketika seseorang memeluknya dari belakang. Siapa lagi kalau bukan Elletha. Moreno memejamkan matanya sesaat, berusaha menekan emosinya. Bagaimanapun juga, Elletha adalah seorang perempuan. Pantang baginya untuk melayangkan bogem mentahnya ke seorang perempuan. Dengan satu sentakan kasar ia melepaskan tangan Elletha yang masih melingkari pinggangnya dari belakang. Tanpa melirik Elletha, Moreno membuka pintu mobilnya dan segera memacu mobilnya meninggalkan taman.
                “Kita lihat, siapa yang bisa merebut hati kamu, Reno. Dan itu sudah pasti aku!” desisnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Reno mengacak rambutnya dengan kesal. Ia membanting tubuhnya asal ke atas ranjangnya. Matanya menatap langit-langit kamar dengan pandangan menerawang. “AAARRGGH!!” Tiba-tiba ia berteriak kesal.
                “Bang Renooooo!! Kenapa, sih, lo? Berisik tau! Gue jadi nggak konsen belajar, nih,” gerutuan dari kamar sebelah langsung terdengar ketika ia selesai berteriak. Ia bergumam tidak jelas tanpa memedulikan gerutuan adik perempuannya yang sedang sibuk belajar.
                “Sa..” gumamnya lirih. Tiba-tiba perasaan itu datang kembali. Perasaan yang sama yang dirasakannya ketika ia kehilangan Marisa dulu. Perasaan kehilangan yang membuat hatinya kosong, hampa. Ia lelah. Bagaimanapun juga ia seorang manusia yang mempunyai titik lelah. Tanpa  sadar ia memejamkan matanya dan terjun ke alam mimpi. Di mimpinya ia melihat Marisa yang semakin menjauh dari pandangannya dan hilang.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cause I don't wanna lose you now
I'm lookin' right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart
Is a space that now you hold
Show me how to fight for now
And I'll tell you baby, it was easy
Comin' back into you once I figured it out
You were right here all along
It's like you're my mirror
My mirror staring back at me
I couldn't get any bigger
With anyone else beside of me
And now it's clear as this promise
That we're making two reflections into one
Cause it's like you're my mirror

My mirror staring back at me, staring back at me
Justin Timberlake – Mirrors
Dering suara ponsel membangunkan Moreno dari tidur nyenyaknya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya di tengah kegelapan ruangan. Jam berapa ini? Dengan malas ia menyambar ponselnya yang diletakan di atas meja nakas samping ranjangnya. Ia melihat caller-ID  pada layar ponselnya, nomor tak dikenal.
                Reno mengernyitkan keningnya heran namun tetap mengangkat panggilan tersebut. “Halo..” sapanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
                “Reno sayaaaannngggg!” teriak orang di seberang sana.
                Reno mengangkat sebelah alisnya dan menatap layar ponselnya, memastikan kalau yang menelponnya ini sama sekali tidak ia kenal. “Maaf, ini siapa ya?”
                “Ih, kamu tega!”
                Lho?
                “Saya tega kenapa?” tanya Reno dengan tampang bego.
                “Kamu nggak inget suara aku?”
                “Ini siapa siih?” Reno mulai frustasi. Otaknya sedang tidak bisa diajak main teka-teki seperti sekarang ini.
                “Ini aku Elletha, babe,” seru gadis di seberang sana.
                “Oh my God! Someone please kill me right now, right here!” jerit Reno dalam hati. “Gimana bisa ini mak lampir ngedapetin nomor gue, sih?” gerutunya pelan.
                “Babe?
                “Elletha, denger ya, gue bukan pacar lo! Jadi lo nggak berhak sama sekali buat panggil gue dengan sebutan sayang, babe, ataupun semacamnya dengan suara lo yang menjijikan itu!”
                “Ren—”
                “Walaikumsalam!” Reno mengakhiri panggilan dengan kesal. Ia membanting ponselnya ke atas kasur dan berjalan dengan sembarangan untuk menghampiri saklar lampu yang ada di sebelah pintu kamar. Akibat tindakan sembrononya itu tanpa sengaja ia menabrak kaki meja dan menyebabkan nyeri di tulang keringnya.
                “Shit!” umpatnya kesal. Setelah mendapat benda kecil yang ia cari, Reno segera menekan tombol saklar tersebut dan kamar yang tadinya gelap berubah menjadi terang. Ia menyipitkan matanya untuk beradaptasi dengan cahaya yang tiba-tiba menyerang matanya.
                Tiba-tiba ia teringat Marisa. Dengan cepat ia menyambar ponsel yang tadi ia banting ke atas kasur dan menekan angka 9 pada speed-dial.
                Sudah tiga kali panggilannya di reject oleh Marisa. Ia memandang ponselnya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.
                Dengan wajah frustasi ia mengetikan pesan kepada gadis yang menyita pikirannya beberapa hari ini.
                To: My Marisa
                Marisa, aku gak akan nyerah buat ngedapetin kamu lagi!

Heart Attack (Part 3-4)

Part 3 – Kembali?
Marisa sedang memikirkan masa lalunya ketika Deka masuk ke kamarnya dan menepuk pundaknya pelan. Ia tersentak kaget dan memukul lengan cowok itu.
                "Apa-apaan sih, lo? Ngagetin aja!"
                "Duileeh, yang kemaren abis ketemu mantan bawaannya ngomel-ngomel mulu. Makanya, Mbak, jangan kebanyakan bengong. Gue ngetok pintu berkali-kali jadi gak kedengeran, kan? Tadinya gue kira lo lagi tidur, pas gue buka noh pintu keramat gak taunya elo lagi bengong-bengong jelek sambil liatin jendela," jelas Deka panjang lebar.
                Marisa berdecak sebal dan kembali ke posisi semulanya; duduk di kursi belajarnya dengan memeluk lutut.
                "Ya elah, gitu aja ngambek. Ada yang nyariin lo, tuh, di bawah."
                Marisa menolehkan kepalanya ke arah si adik sableng ini. "Siapa?" tanyanya malas. Dia sedang tidak ingin bertemu siapapun hari ini.
                Deka nyengir tiga jari dan mengedipkan sebelah matanya nakal. "Tamu spesial."
                "Spesial..spesial. Lo kata martabak telor! Udah, ah, bilang aja gue lagi tidur dan nggak bisa diganggu siapapun."
                "Ya elah, Mbak. Temuin dulu, ngapa? Ntar nyesel, lho."
                "Gue males, Dekaaaaaaa. Udah sana. Get out!" perintahnya galak.
                Tanpa disangka-sangka, Deka menarik lengan kirinya sehingga membuat Marisa kehilangan keseimbangan. Ia segera memeluk tubuh Deka yang berada tepat di hadapannya agar tidak terjun ke lantai. Deka hanya menampilkan cengirannya ketika Marisa melemparkan tatapan sinis padanya.
                "So? Mau jalan sendiri atau gue gendong?" Deka menaikan sebelah alisnya dan tersenyum miring.
                Marisa berdecak kesal dan melepaskan dirinya dari pelukan si adik. "Iya, iya. Gue jalan sendiri ke bawah! Lo nggak perlu repot-repot gendong gue buat ketemu tamu gak penting itu," serunya kesal. Ia heran sendiri, mau-maunya dia menuruti keinginan adik gelonya ini.
                "Tunggu!"
                "Apa lagiiii?" Marisa memutar badannya kesal.
                "Cuci muka dulu ngapa, Mbak? Gak nyadar apa tuh muka udah kayak orang kurang kasih sayang pacar? Mana rambut awut-awutan nggak jelas begitu pula!"
                "Ya ampun, Deka. Gue mau nemuin tuh tamu aja udah syukur! Ribet amat mesti rapi-rapi dulu. Emang sepenting dan sespesial apa sih tuh tamu?" tanya geram. Ini bocah kemauannya banyak banget, sih!
                Tanpa banyak kata, Deka menyeret Marisa menuju toilet dan memerintahkan sang kakak untuk mencuci mukanya serta merapikan rambutnya yang tergerai menutupi punggung.
                “Deka, I’m your sister! Underline it! You can’t govern me to do something that I don’t wanna do,” ucapnya kesal. Deka hanya berdiam diri dan menampakan wajah memelasnya.
                “Please, Mbak. Untuk kali ini aja, lo turutin kemauan gue,” pintanya memelas. Marisa berdecak kesal untuk kesekian kalinya dan membanting pintu kamar mandi tepat di depan wajah sang adik. Deka hanya mengangkat bahunya dan terkekeh kecil.
                 Untuk berjaga-jaga kalau-kalau Marisa keluar tanpa merapikan penampilannya, Deka berdiri di depan pintu kamar mandi. Tak lama kemudian suara air yang mengucur kencang dari kran air terdengar. Deka yang menunggu di luar menyunggingkan senyum misteriusnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Deka menuruni tangga disusul Marisa yang berjalan malas di belakangnya. Wajahnya terus-terusan ia tekuk karena mood buruknya melonjak drastis akibat ulah Deka yang memaksanya menemui 'tamu istimewa' itu.
                "Sorry, udah nunggu lama, Masbro!" Deka berseru riang di anak tangga terakhir sementara Marisa melongo melihat siapa 'tamu istimewa'-nya hari ini.
                "Tuan Putri mesti rapiin dandanannya dulu sebelum ketemu pangeran tampannya." Deka tertawa kecil di akhir kalimatnya. Marisa yang masih bergeming di anak tangga terbawah membuatnya harus menarik lengan sang kakak agar menghampiri tamunya.
                "Hai, Sa." orang itu menyapa dengan senyumnya yang dulu selalu membuat Marisa terpesona tiap kali melihatnya.
                “H-Hai..” Marisa menjawab tergeragap.
                Menyadari suasana yang canggung, Deka langsung kabur diam-diam ke dapur untuk menghampiri sang mama yang sedang membuat kue kering. Ia berpikiran keduanya butuh privasi untuk mengklarifikasi kesalahan dimasa lampau.
                Marisa berdiri kaku di hadapan si tamu yang memandangnya dengan sorot mata penuh rindu. “Apa kabar?”
                “Baik,” jawab Marisa pelan. “Kamu sendiri?” lanjutnya.
                “As you can see now.”
                “Ayo duduk, Ren,” ajak Marisa. Ia mulai jengah dengan awkward moment ini. Marisa duduk diikuti si tamu yang ternyata adalah Reno.
                Marisa menghela napas pelan untuk menghilangkan kegugupannya. “Ada apa, Ren? Tumben ke sini.”
                Reno melakukan hal yang sama dengan Marisa dan mengeluarkan suaranya. “Aku pengen ajak kamu jalan, gimana?” tanyanya ragu-ragu.
                Marisa menaikan sebelah alisnya, “Hmm.. Kemana?”
                “Ke suatu tempat,” Reno menyunggingkan senyum cerahnya. “Kamu mau, kan?”
                “Boleh, deh. Tunggu bentar, ya. Aku mau siap-siap dulu.” Marisa segera menaiki anak tangga menuju kamarnya yang terletak bersebelahan dengan kamar Deka.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sesampainya di kamar, Marisa langsung membongkar isi lemarinya dan mencari baju yang dirasanya pantas untuk ia kenakan hari ini. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan tampaklah Deka dengan wajahnya yang sok polos namun menyimpan sejuta kejahilan melalui mata dan kata-katanya.
                “Cieee.. Kayaknya ada yang lagi CLBK, nih.”
                “Ck! Apaan sih, lo? Sana keluar! Gue mau ganti baju,” ketus Marisa. Matanya mendelik kesal pada Deka yang sedang terkekeh geli mendengar nada ketus dalam suaranya.
                “Ya udah, deh. Good luck ya, Mbak!” serunya girang.
                Setelah mengganti pakaian dan berdandan ala kadarnya, Marisa keluar kamar untuk menemui Reno yang menunggunya. Matanya melihat Reno yang memandangnya dengan pandangan terpesona. Membuatnya merona malu.
                “Cantik,” hanya itu yang mampu diucapkan Reno saat Marisa sampai di hadapannya. “Kamu nggak berubah, ya. Masih cantik dalam balutan baju apapun,” lanjutnya.
                Rona merah masih menjalari wajah Marisa ketika tangan pemuda tersebut menggandeng ringan tangannya. “Yuk,” ajak Reno.








Part 4 – SHOCK!
“Sa, kamu ada acara nggak abis pulang sekolah?”
                Jantung Marisa berdegup kencang ketika melihat siapa yang berdiri tepat di hadapannya yang sedang kesulitan membawa beberapa kamus tebal menuju perpustakaan. “Eh.. E-Enggak, kok. Ada apa?” Sial, kenapa harus gugup sih?!
                Senior yang menghadang jalannya ini mulai mengambil alih kamus-kamus tersebut dari tangannya. “Bagus kalo gitu, kita jalan, yuk?” ajaknya.
                “Hah?! J-Jalan, kak?”
                “Iya.. Aku mau bawa kamu ke suatu tempat yang bagus banget. Aku yakin kamu bakal suka sama tempat itu. Gimana?” tanya si senior lagi. Mereka sudah sampai di depan pintu perpustakaan yang berwarna cokelat tua dengan tulisan ‘Library’ menempel di permukaannya. Marisa membantu seniornya membukakan pintu tersebut dan melangkah masuk ke dalam ruangan besar berisi buku-buku yang tersusun rapi dalam rak-rak tinggi tersebut.
                “Jadi... Gimana?” tanya senior tersebut ketika mereka sudah selesai menata kembali kamus-kamus tersebut pada tempatnya.
                Marisa mengangkat telunjuknya seraya berpikir sejenak, “Hm.. Boleh, deh. Tapi pulangnya jangan sore banget, ya. Takut Mama nyariin.” Senior tersebut tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya yang berjejer rapi seraya mengangguk.
                “Tenang, aja. Nggak akan lama, kok,”  ucapnya meyakinkan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cowok tersebut sudah menunggu Marisa sejak lima belas menit yang lalu. Punggungnya ia sandarkan pada pintu mobil dengan mata yang melirik ke segala arah, memastikan Marisa melihat letak mobilnya yang terparkir tak jauh dari gerbang sekolah.
                Sudah hampir dua puluh menit namun Marisa tidak kunjung terlihat batang hidungnya. Karena takut terjadi sesuatu pada Marisa, cowok tersebut beranjak dari tempatnya menunggu. Baru selangkah ia berjalan, Marisa muncul dengan napas terengah-engah.
                “Kamu kenapa, Sa?” tanya cowok itu heran. Ia segera membimbing Marisa masuk ke dalam mobilnya kemudian ia menyusul masuk dan menghidupkan mesin mobil serta AC.
                “Udah nunggu lama, ya, kak? Maaf, ya. Aku lupa kalo hari ini aku ada jadwal piket, jadi tadi mesti bersih-bersih kelas dulu sebelum keluar. Kak Reno nggak marah, kan?” Cowok yang ia panggil Reno tadi tersenyum memaklumi. Peraturan yang dibuat Bu Riska—walikelas Marisa—memang ketat. Ia tidak akan pernah membiarkan satu orang muridnya bolos piket.
                “Ng.. Baru dua puluh menit, sih. Tapi nggak papa lah,” ucap Reno dengan nada santai. Ia mulai melajukan mobilnya meninggalkan lapangan parkir sekolah.
                “Dua puluh menit?!” Mata Marisa membesar dengan cepat, “Waduh, dua puluh menit itu lama, lho, kak!” lanjutnya merasa tidak enak pada Reno—seniornya yang hanya beda satu tahun di atasnya.
                “Ya udah, biar kamu nggak diserang rasa tidak enak berkepanjangan, sebagai permintaan maaf kamu harus traktir aku es krim!” seru Reno.
                Marisa tampak berpikir sejenak, “Hm.. Boleh, deh.”
                Mobil yang dikendarai Reno memasuki areal taman kota yang sangat luas. Setelah memarkirkan mobilnya pada lahan parkir yang tersedia, Reno keluar dari mobil dan melangkah cepat ke samping kiri mobilnya untuk membukakan pintu bagi Marisa. Marisa yang terkejut dengan perlakuan Reno yang mendadak menjadi manis begini hanya mampu tersenyum malu.
                “Ini taman apa, kak? Aku baru tau ada taman kota di daerah sini,” tanya Marisa ingin tahu.
                Reno tersenyum bangga, “Ini taman emang baru jadi. Keluargaku bekerjasama dengan dinas pertamanan setempat buat bangun taman ini. Keluarga Martadinata berusaha menjadi sponsor atas dibangunnya taman ini, kami semua ingin menyalurkan kontribusi kami pada bumi yang emang udah tua. Global warming kan udah makin parah, makanya kita berusaha membantu bumi untuk memperbaiki kerusakan sedikit demi sedikit dengan dimulai dari hal kecil sepert ini,” jelasnya panjang lebar.
                “Kecil? Kamu bilang ini hal kecil? Wah, Kak Reno, asal kamu tau ya, hal seperti ini tuh udah termasuk besar bagi negeri ini. Mengingat banyaknya perusahaan-perusahaan raksasa di luar sana yang memilih untuk merubah daerah resapan menjadi mall atau apartemen! Keluarga Martadinata memang hebat, kalian masih memikirkan kondisi bumi ketika para pesaing kalian malah berduyun-duyun untuk merusak negeri ini.” Marisa berkata takjub.
                Keluarga besar Reno—Martadinata—memang pemilik perusahaan besar dengan cabang dan anak perusahaannya yang sudah menjamur dimana-mana dan dalam bidang apapun. Namun, siapa sangka kalau keluarga ini tidak ‘tamak’ dalam menjalankan usaha. Ini terbukti ketika kakek Reno, Aulia Martadinata harus merugi sebanyak 9 M sekitar dua tahun yang lalu karena orang kepercayaan beliau—Theo Mandilan—mengkhianati kepercayaannya dan membawa kabur uang perusahaan sebanyak 9 M. Ketika diwawancarai para wartawan, perintis perusahaan Marta Group ini hanya berkata, “Kalau rejeki ya nggak kemana. Saya sudah mencoba mengikhlaskan uang yang hilang itu. Mungkin itu memang bukan rejeki saya, kalaupun memang rejeki nanti akan Allah kembalikan, kok. Lagi pula, harta itu cuma titipan dari yang di atas.”
                Marisa mengerjap-ngerjapkan matanya ketika Reno memanggilnya dari kejauhan. Cowok itu sudah berdiri di dekat danau kecil yang ada di dalam taman ini. Dengan senyum yang terukir manis di wajahnya, Marisa berlari menghampiri Reno. “Kamu ngelamun ya?” tanya Reno ketika Marisa sudah berdiri di sebelahnya. Alisnya ia kerutkan begitupula dengan hidungnya dan mulut yang cemberut. Membuat Marisa tertawa terbahak-bahak karena melihat raut wajahnya yang jelek namun imut itu.Oh My Got! How could he turn out to be as cute as that?!
                Tiba-tiba Reno menarik lengan kirinya dan menggenggam jemarinya. Membuat jantung Marisa seolah dipompa berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus kali lebih cepat dari biasanya. Ia gugup setengah mati atas perlakuan Reno ini.
                “Sa.. Aku mau ngomong serius boleh?” suara Reno yang biasa terdengar santai atau terkadang penuh candaan berubah serius. Marisa hampir saja menyemburkan tawanya kalau Reno tak menatapnya tajam sekarang.
                “A-Apa, kak?” cicitnya.
                “Jangan panggil gue ‘Kak Reno’ lagi!” Reno masih bersuara dalam nada tegasnya. Marisa membelalakan matanya tanda tak mengerti.
                “Maksudnya?” tanya Marisa seraya mengangkat sebelah alisnya, heran.
                “Mulai detik ini, cukup panggil aku ‘Reno’ atau ‘sayang’ atau apapun itu panggilan sayang lainnya.”
                HAH?!
                “Aku masih nggak ngerti.”
                “Let me be clear it, I want you to be my girl, Marisa Maudia.” Reno berkata dengan tenang sementara tatapannya melunak.
                Oh My God! Where’s my voice?! Duh, kenapa suara gue pake acar ngilang kayak gini sih?!
                “So?” Reno masih sabar menunggu jawaban yang keluar dari mulut ‘calon pacar’-nya itu.
                “A-A...”
                “Just say yes or no, Marisa!” Reno berseru frustasi.
                “YES, Reno! Yes! I want to be your girl!” Marisa berteriak kesal. Entah kenapa ia kesal akan sikap Moreno yang menuntut jawabannya. Di depannya, Moreno berteriak senang dan melompat sebentar sembari menggumankan kata, “YES!”
                Marisa masih menatapnya kesal sekaligus bingung ketika Reno menariknya ke dalam pelukan hangat cowok itu. “I won’t let you go, Sa. I won’t!

“Sa.. MARISA?”
                Marisa tergeragap ketika sebuah tangan mencubit pipinya lembut. “E-Eh.. Iya?”
                “Hhh.. Kamu abis ngelamun, ya?” Reno menatapnya kesal. Merasa dicuekin Marisa karena sedari tadi ia ‘cuap-cuap’ nggak disahutin oleh gadis di sebelahnya ini.
                Marisa tersenyum, merasa bersalah karena membiarkan Reno ngomong sendiri seperti orang gila. “Maaf,” gumamnya.
                “Nggak papa,” Reno beranjak berdiri untuk menghampiri pedagang es krim yang kebetulan mangkal di taman ini.
                Tiba-tiba tangannya ditahan oleh Marisa. “Mau kemana?”
                “Beli es krim, kamu mau rasa apa?” Reno tersenyum kecil melihat tangan Marisa yang menahannya erat-erat—seolah-olah ia adalah tahanan rumah.
                “Oh.. Aku mau yang vanilla.”
                “Wait for some minutes, ya.” Marisa mengangguk semangat dengan mata berbinar-binar. Memakan es krim adalah salah satu hal yang paling ia sukai, apalagi disaat cuaca panas seperti ini.
                Pandangannya menyapu sekelilingnya. “Masih sama,” gumamnya. Ya, taman ini masih sama seperti pertama kali ia datang ke sini. Lima tahun yang lalu.
                “Nih,” Reno mengejutkannya dengan menyodorkan es krim vanilla dari belakangnya secara tiba-tiba. Marisa yang terkejut hanya bisa mengelus dada. Salah satu kebiasaan Reno yang ia benci sejak dulu adalah ngagetin orang!
                “Kebiasaan banget sih!”
                “Apa?” Reno memasang wajah se-innocent mungkin. Ia mengitari sisi kiri bangku taman ini untuk duduk di sebelah Marisa.
                “Ngagetin orang mulu! Untung aku nggak ada riwayat penyakit jantung,” gerutu Marisa.
                Reno tertawa dan mengacak pelan rambut Marisa yang tergerai menutupi punggungnya. “Kamu tuh—“
                “RENO!”
                Ucapan Reno terpotong ketika seorang perempuan berteriak memanggil namanya. Keduanya menoleh untuk melihat siapa yang menyebut nama Reno dengan kencang di tempat umum seperti ini. Tanpa diperintah, kedua bola mata Marisa membelalak kaget melihat siapa yang sedang berlari ke arah mereka—ke arah Reno lebih tepatnya. Marisa semakin membelalak horror ketika gadis tersebut menerjang Reno dan menciumi bibir Reno dengan ganas. Membuat Marisa bergidik ngeri sekaligus jijik terhadap apa yang dilakukan perempuan ini pada Reno.
                Dengan tatapan melecehkan, Marisa meninggalkan tempat tersebut. Bahkan es krim yang tadi dibelikan Reno untuknya ia tinggalkan di bangku taman. Tanpa sadar air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Semakin banyak air mata yang tumpah, semakin cepat pulsa Marisa melangkah. Ia menghapus kasar air mata yang jatuh ke pipinya dengan punggung tangan dan menyetop taksi kosong yang kebetulan lewat.
                “Ke perumahan Gandaria pak. Jl. Cempaka nomor 55.”
                “Baik, Mbak,” ucap si sopir patuh kemudian menjalankan taksinya dengan kecepatan sedang.
                Bodoh! Harusnya gue nggak usah nemuin Reno lagi! Harusnya gue inget semua kata-kata perempuan jalang itu! Oh, God! What should I do? Should I believe all of that bitch’s words?
                Marisa masih sibuk menghapus air mata yang turun ke pipinya seraya mencaci-maki perempuan yang ia temui di taman tadi. Sudah cukup kehidupan percintaannya dimasa lalu hancur karena perempuan itu. Jangan tambah masalah baru lagi dalam hidupnya dengan kehadiran perempuan itu lagi.

                DAMN YOU, RENO!

Heart Attack (Part 1-2)

Part 1 – Past Love
“Sa.. Marisa.. Marisa! Tunggu aku, Sa!”
                Orang itu kembali memanggil Marisa dengan suara yang sudah naik dua oktaf. Tetapi Marisa tidak peduli. Ia terus berjalan, menembus hujan dan angin yang bertiup kencang tanpa mengenakan jaket atau payung. Ia membiarkan dirinya basah oleh air hujan yang turun dengan derasnya.         
                “Marisa Maudia Hapsari! Aku sayang sama kamu, Sa! Aku nggak mau kehilangan kamu, tapi kenapa kamu ninggalin aku, Sa? Apa salah aku? Bilang sama aku, Sa!” Lelaki itu mengejarnya dan mengucapkan kalimat tersebut dengan suara serak.
                Marisa tiba-tiba berhenti dan hal itu membuat lelaki yang mengejarnya hampir saja menabraknya kalau ia tidak menemukan keseimbangannya. “Kamu nggak punya salah apapun sama aku, Ren. Aku cuma mau kamu tinggalin aku, udah itu aja!”
                “Tapi kenapa, Sa? Kenapa?? Aku sayang sama kamu. Tapi apa balasan kamu, Sa?!” Suara lelaki tersebut kembali naik satu oktaf di kalimat terakhirnya setelah sebelumnya ia mengucapkan dengan lirih.
                “Tinggalin aku, Ren. Lupain aku. Aku mohon..T-Tinggalin aku, Moreno!” ucap Marisa dengan penuh permohonan tanpa perlu membalikan badannya untuk menatap lelaki yang ia sebut Moreno tadi. Suaranya bergetar dan tubuhnya mulai menggigil. Tapi ia berusaha sekuat tenaga agar Reno tidak menyadari keadaannya.
                “Oke! Kalau itu mau kamu, aku akan turutin itu. Tapi ingat, Marisa. Satu hal yang harus kamu camkan baik-baik; aku nggak akan pernah ngelupain kamu. Aku akan terus mencintai kamu, aku akan nunggu kamu sampai pada waktunya, sampai kamu mau nerima aku lagi dan menjelaskan apa sebab kamu nyuruh aku ninggalin kamu kayak gini!”
                Dengan napas tersengal dan perasaan bercampur aduk, Moreno pergi dari tempat itu. Marisa menghembuskan napas lega dan segera mencari taksi. Ia perlu menghangatkan diri dan menenangkan hatinya. Karena jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tidak ingin Reno pergi meninggalkannya.

Marisa terbangun dengan napas tersengal-sengal, ia melihat ke sekelilingnya. Gelap. Ia segera mencari dimana ponselnya berada. Seketika keningnya berkerut ketika melihat jam menunjukan pukul delapan tepat. Pantas hari sudah gelap. Gadis berambut sebahu ini segera menghidupkan lampu dan menutup tirai jendelanya. Untung ia sedang kedatangan tamu bulanan, jadi ia tidak perlu khawatir karena melewatkan waktu sholat maghrib.
                “Perasaan tadi masih jam empat sore, deh. Cepet amat udah malem aja,” ucapnya kepada dirinya sendiri. Marisa keluar dari kamarnya dan berjalan menuruni tangga menuju dapur. Sebuah kertas post-it berwarna kuning yang menarik perhatiannya tertempel di pintu kulkas. Dengan cepat ia membacanya.

Sa, mama sama papa pergi ke rumah Tante Desi dulu, ya. Deka juga ikut sama kita. Kalo laper panasin makaroni skotel yang ada di kulkas aja.
With love,
          Mom, Dad, and Azka
               
                Marisa mendengus sebal ketika membacanya. Tega-teganya kedua orangtuanya dan sang adik pergi tanpa mengajaknya. Dengan wajah cemberut ia mengeluarkan makaroni skotel yang dimaksud sang mama dari kulkas dan memanaskannya di microwave. Sembari menunggu makaroninya siap, Marisa mengingat-ingat lagi mimpinya tadi.
                Bukan. Bukan mimpi. Karena itu nyata sekali. Yah, itu memang kejadian nyata. Dan ia sangat menyesalinya; kenapa ia harus memimpikan peristiwa itu? Ia ingat sekali penyebab dirinya harus berpisah dengan kekasihnya—cinta pertamanya—semasa SMA tersebut. Tanpa sadar air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Dengan cepat ia hilangkan ingatan tersebut dari otaknya dan menyeka  air mata sebelum turun ke pipinya. Ia sudah lelah menangis. Menangisi kebodohannya sendiri.  Dan sekarang bukan waktunya untuk menangis serta menyesali kebodohannya.
                Ting!
                Microwave berbunyi sekali tanda makanan siap untuk dihidangkan. Marisa segera mengeluarkan makaroni kesukaanya dan menyatapnya dengan lahap untuk mengalihkan pikirannya dari mimpi tersebut.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hari ini adalah hari ketiga Marisa ada di Indonesia. Hampir setahun ia tidak pulang ke Indonesia dan hal itu membuat sang Mama mengomelinya setiap kali menelpon beliau. Dan sekarang disaat liburan semester, ia menyempatkan dirinya untuk pulang ke Jakarta. Marisa memang tidak berkuliah di dalam negeri, ia memilih berkuliah di Meiji Daigaku atau lebih dikenal sebagai University of Meiji atas dasar beasiswa yang didapatnya untuk jurusan Business Administration.
                Universitas Meiji yang terletak di daerah Kandasurugadai di Tokyo sempat membuat Mamanya ketar-ketir karena kemampuan anak gadisnya dalam berbahasa Jepang tidak semahir sang suami yang sempat ditugaskan ke Jepang selama empat tahun. Oleh karena itu Marisa mengambil les kilat berbahasa Jepang di suatu tempat kursus dan berlatih berbicara menggunakan bahasa Jepang dengan sang Papa walaupun masih belum mahir.
                Marisa selalu ingat bagaimana kerasnya ia berjuang agar bisa mendapatkan beasiswa ini dan mempertahankan prestasinya—kalau tidak mau beasiswanya dicabut. Alasan lain ia memilih mengambil beasiswa tersebut adalah untuk menghindari seseorang. Ia tidak ingin bertemu dengan orang tersebut untuk beberapa waktu lamanya sehingga ia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepadanya. Mengingat orang tersebut mau tak mau membuatnya mengingat kebodohannya lima tahun yang lalu. Cepat-cepat ia mengusir bayangan tersebut dari otaknya.
                “HOI! Bengong aja,” Marisa tersentak kaget ketika seseorang menepuk pundaknya dengan keras dari belakang. Tanpa perlu repot-repot menengok untuk melihat siapa yang mengagetkannya, Marisa mengelus dadanya.
                “Damn you, Deka! You shocked me,” omel Marisa kepada adik semata wayangnya.
                Deka bersiul sebelum mengedipkan sebelah matanya nakal. “Lagian pagi-pagi udah bengong aja kayak burung lagi hamil,” Deka berkelit dan duduk di sebelah kakaknya. “Ada apa, Mbak?”
                Marisa mendengus mendengar ucapan adik sablengnya. Burung hamil? Sejak kapan ia tahu kalau burung hamil itu kerjaannya bengong? Oke, lupakan tentang burung hamil, pikir Marisa.
                “None of your business,” jawab Marisa jutek.
                “Duileeehh.. Udah lama gak pulang ke Indo jadi galak lo, Mbak. Makan ape lo di sana?” Jarak umur mereka yang hanya terpaut tiga tahun membuat mereka lebih sering menggunakan ‘gue-elo’ satu sama lain.
                “Berisik lo, gue sumpel pake roti gosong juga lo, ya!” ancam Marisa karena kesal Deka terlalu ‘kepo’ terhadapnya.
                Terdengar suara Tiara Hapsari, mama mereka dari dalam rumah, “Marisa, Deka, jangan berantem terus kenapa, sih. Kamu kan baru pulang, Sa. Bukannya kangen-kangenan sama adeknya malah berantem. Kamu juga, Deka, jangan cari gara-gara mulu sama kakak kamu, bisa?”
                “Ehehehe... Nggak bisa, Mam. Namanya kangen ya susah, lah.” Deka menyahut dengan santainya disertai cengiran lebarnya.
                “Untung gue nggak kangen sama lo.”
                “Hei, sudah, ah. Pusing mama liat kalian berantem mulu kayak anak umur 5 tahun.” Wanita berumur 48 tahun ini menggeleng-gelengkan kepalanya. Heran melihat sikap kedua buah hatinya ini. “Sa, nanti malem kamu nggak kemana-mana, kan?”
                “Nggak, Mam. Kenapa?”
                “Bagus, ikut mama ke pernikahan anaknya temen mama, ya? Kamu juga, Deka,” ucap beliau kepada kedua anaknya.
                “Emang harus ya, Ma?” Deka bersuara terlebih dahulu. Nada suaranya terdengar merajuk.
                “Aku ikut deh, Mam. Bosen di rumah,” Marisa mengiyakan permintaan Tiara.
                Mama tersenyum kepada Marisa kemudian tatapannya beralih kepada Deka. Kali ini lebih tajam agar si bungsu mengiyakan permintaanya. “Jadi gimana, Deka?”
                “I-Iya deh, Ma.. Aku ikut,” ucap Deka pasrah. Terpaksa ia membatalkan janjinya nobar motogp dengan teman-temannya di rumah Nino, daripada uang bulanannya harus dipotong!
                “Anak pintar,” Tiara tersenyum senang seraya mengelus-elus puncak kepala anak bungsunya. Membuat Deka kesal karena merasa dirinya diperlakukan seperti anak balita.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
The whispers in the morning
Of lovers sleeping tight
Are rolling like thunder now
As I look in your eyes

I hold on to your body
And feel each move you make
Your voice is warm and tender
A love that I could not forsake

Suara penyanyi cantik tersebut mengalun indah membawakan lagu milik penyanyi terkenal Celine Dion, The Power Of Love. Marisa yang sedang meminum minumannya sempat tersedak dan terbatuk-batuk beberapa kali ketika mendengar lagu ini. Deka sampai harus memijat tengkuknya yang malam ini terekspose karena ia hanya mengenakan dress selutut bertali spaggheti dan rambutnya yang digelung ke atas membentuk konde kecil.
                Untuk beberapa saat setelah batuknya mereda, Marisa terdiam. Ingatannya kembali ke empat tahun yang lalu.

“Sayang, kamu denger apa sih?” tanya seorang lelaki yang duduk di sebelahnya. Mereka sedang berada di sebuah taman kota dan baru saja menyelesaikan jogging pagi ini.
                “The Power Of Love,” jawabnya cuek.
                “Aku mau denger dong?” pinta si lelaki.
                “Nih,” Marisa menyerahkan salah satu headset-nya kepada lelaki tampan di sebelahnya. Suara Celine Dion masih mengalun indah dari iPod miliknya. Ia sangat menyukai lagu ini.
                “Lagunya enak,” komentar lelaki yang tak lain adalah pacarnya ini.
                Marisa tergelak dan tersenyum geli. “Emangnya kamu kira ini makanan? Sampe dibilang enak gitu?”
                Lelaki tersebut terlihat gemas dengan tingkah sang pacar, “Ih, bukan itu maksud, sayaaaaaaannngg.. Kamu ngerti, kan?”
                “Hahaha.. Iya.. Iya, aku ngerti kok maksud kamu. Muka kamu kalo lagi kesel lucu banget, deh! Hahaha,” Marisa kembali menertawakan pacarnya.
                “Awas kamu, yaaa..” Marisa berdiri dan berlari sekencangnya agar terhindar dari serangan lelaki tersebut. Ia tertawa riang sambil sesekali menjulurkan lidahnya untuk mengejek sang pacar. Yah, karena dari penampilan luar Marisa sudah kalah bodi dengan si lelaki, dapat dipastikan sang pacar dapat menyusulnya dan menangkapnya dengan mudah.
                “Yak, kena!” seru lelaki itu dengan bangga karena dapat menangkap dan memeluk tubuh mungil gadisnya dengan mudah.
                Marisa meronta minta diturunkan karena sekarang sang pacar sudah menggendongnya dan membawanya ke tempat duduk. Hal tersebut membuat beberapa pasang mata melirik mereka dan terkagum-kagum melihat ketampanan sang lelaki serta kecantikan sang gadis.
                “Kamu bikin orang-orang ngeliatin kita, tau!” semprot Marisa saat mereka sudah duduk. Si pacar terlihat tidak peduli dengan mengangkat bahunya acuh tak acuh dan nyengir kuda.
                “Biarin, yang penting yang aku gendong ituu.. Kamu!” sahutnya seraya tersenyum lebar dan merangkul Marisa dengan penuh kasih sayang. Ia mengeratkan rangkulannya di pundak Marisa tatkala memergoki beberapa mata lelaki lain melirik pacarnya dengan kagum. Sikapnya yang protektif terkadang membuat Marisa kesal namun juga senang.
                “Morenooooo.. Udah, dong. Malu, tau!” Marisa berusaha melepaskan rangkulan lelaki yang dipanggilnya Moreno tersebut karena menurutnya pacarnya tersebut berlebihan.
                Reno meliriknya sebelum melemparkan pandangannya ke arah pepohonan yang rimbun, “Aku mau lepas, tapi kamu harus janji satu hal.”
                Marisa menatapnya penasaran. “Apa?”
                “Kamu harus terus ada di samping aku sampe maut yang memisahkan.”
                Marisa menatapnya dengan binar mata bahagia. Perlahan senyumnya mengembang. “Aku janji.”
                Moreno tersenyum lembut sebelum mengucapkan, “I love you, mi quèrida.
                “Love you too, my prince.
               
Marisa tersadar dari lamunannya ketika mendengar penyanyi cantik di atas panggung menyelesaikan lagu tersebut. Seketika matanya berkelana mengelilingi ball-room yang sangat luas. Ia merasa ada yang memperhatikannya sedari tadi, namun ia tidak menemukan siapa yang memperhatikannya. Para tamu yang hadir sibuk dengan makanannya atau berbincang-bincang dengan kerabat maupun relasi bisnis. Maklum, pesta pernikahan yang ia hadiri ini milik calon pewaris Tata Group, perusahaan yang bergerak di bidang industri mebel dan perumahan terbesar di Indonesia. Jadi wajar kalau yang ia temui di sini adalah kaum sosialita yang levelnya jauh di atasnya.
                “Dek, lo dapet Zuppa Soup dimana? Kok gue nyari dari tadi nggak nemu-nemu, ya?” tanya Marisa ketika melihat Deka kembali dengan semangkuk Zuppa Soup di tangan. Ini anak, padahal ia baru saja menghabiskan Cremè Brule dan Mini Cheese Quiche serta dua buah pudding cokelat, tapi kok nggak ada kenyang-kenyangnya, ya?
                “Lah? Lo nggak dengerin omongan gue tadi ya, Mbak?” Deka terlihat heran ketika Marisa bertanya dimana letak meja khusus Zuppa Soup. Padahal tadi sebelum pergi mengambil makanan ini ia sempat bilang kepada Marisa kalau meja khusus Zuppa Soup ada di sebelah Cremè Brule seraya menunjuk tempatnya. Mengingat kakaknya yang satu ini penggila Zuppa Soup, ia berkewajiban untuk memberitahukan dimana letak Zuppa Soup bila Deka yang menemukannya terlebih dahulu.
                “Umm.. Kayaknya pas lo ngomong tadi gue lagi bengong, deh. Hehehe..” Marisa cengengesan sendiri sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
                Deka menghela napas, pantas saja Marisa tidak menyahut ataupun bereaksi ketika ia bilang akan mengambil makanan favorit mereka ini. “Ya udah, ambil sana. Ada di sebelah Cremè Brule, ya.” Deka mengingatkan seraya memasukan sesendok Zuppa Soup ke dalam mulutnya. Ia tidak menggubris tatapan beberapa gadis yang terlihat menyukai wajah tampannya yang asli Indonesia dengan rahang tegas serta alis tebal dan sorot mata ramah.
                Marisa segera ngeloyor pergi setelah mengacungkan jempolnya pada Deka. Baru beberapa langkah ia berjalan tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang keras menabrak pundak kanannya. Ia menutup matanya, bersiap merasakan empuknya karpet ball-room yang tebal ini di bokongnya. Namun ia tidak merasakan apapun. Yang ia rasakan justru sebuah tangan yang menopang punggungnya agar tak jatuh.
                Gadis ini segera membuka matanya dan tatapan hangat seorang lelaki langsung menyambutnya, “Sorry..” ucap si lelaki disertai senyum ramah. Ia menampilkan raut muka bersalah dan membantu Marisa berdiri tegak diatas heels setinggi 7 centimeter.
                “No problem,” Marisa membalas senyum si lelaki tak kalah ramahnya. Menyadari suasana menjadi canggung, Marisa memilih membuka suara terlebih dahulu, “Thanks for your help.
                “With pleasure, lady.” Si lelaki memperhatikan punggung Marisa yang menjauh. Ia merasa pernah bertemu gadis itu. Tapi, dimana? Ia memilih mengabaikan pikiran tersebut dan menghampiri sahabatnya yang datang terlambat karena harus mengurus beberapa hal di perusahaan milik keluarga besar sahabatnya itu sebelum menghadiri pernikahan kakaknya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Marisa meletakan mangkuk bekas Zuppa Soup-nya ke atas meja khusus piring kotor. Ketika akan kembali tempat duduknya, ia merasa lengannya ditahan seseorang. Gadis itu menoleh ke samping kanannya untuk melihat siapa yang menahannya dan matanya bertumbukan dengan tatapan hangat milik orang yang menabraknya tadi. Lelaki tersebut tersenyum manis kepadanya dan mau tak mau membuat Marisa tersenyum lembut.
                 Si lelaki sepertinya tidak sendiri, namun Marisa memilih mengabaikan orang yang berdiri di sebelah orang yang menabraknya tadi tanpa meliriknya sama sekali. “Hei,” ucap si lelaki membuka percakapan. “Sorry ganggu, tapi gue cuma mau ngajak kenalan. Boleh?”
                “Sure.”
                “Kenalin, gue Beno Anggara,” lelaki yang bernama Beno ini memperkenalkan dirinya seraya menjulurkan tangan kanannya ke depan. Mengajak Marisa bersalaman.
                “Marisa Maudia,” ucap Marisa dengan senyum manis.
                Beno beralih pada seseorang yang berdiri di sebelahnya, “Dan ini...” Beno tidak menyadari gestur tubuh orang di sebelahnya sudah berubah sejak tadi ia menahan Marisa. Kaku dan kaget.
                Seketika Marisa membeku di tempatnya. He’s here! Marisa berteriak dalam hati. Jantungnya berpacu cepat dan keringat dingin mulai mengaliri dahinya.
                “Moreno..” bisiknya. Tidak cukup pelan karena Beno dapat mendengarnya menyebutkan nama lelaki di sampingnya bersamaan ketika Beno menyebutkan nama sahabatnya ini.
                “Ma-Mari..sa?”
                Beno menatap dua orang di hadapannya bergantian. “Kalian udah saling kenal?” tanyanya dengan alis yang terangkat sebelah.
                Tidak ada yang menjawab. Mereka berdua hanya bertatapan dengan kerinduan yang terpancar melalui tatapan masing-masing. Suara Demi Lovato yang menyanyikan Heart Attack memecahkan keheningan di antara mereka bertiga.
                Marisa segera membuka risleting tasnya dan mencari dimana ponselnya. Setelah mendapatkan benda tersebut ia segera mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya tanpa melihat caller ID terlebih dahulu. “Halo..”
                “Mbak, lo dimaneeee? Kita udah mau pulang, nih. Nyokap ngira lo ilang, tau?” Marisa sangat kenal dengan suara ini. Jadi tanpa basa-basi lagi ia segera menyudahi pembicaraannya.
                “I-Iya, gue ke sana sekarang.”
                “Sorry, but I have to go now. Nice to meet you, guys!”  Marisa menampilkan wajah bersalahnya dengan tujuan menutupi kegugupannya akibat pertemuan tidak terduganya dengan Moreno, mantan pacarnya saat SMA.
                Moreno hanya mampu menatap punggung Marisa yang semakin menjauh. Seketika kenangan-kenangan manisnya di masa silam berkelebat di kepalanya. Berputar dengan cepat bagaikan film gratis yang menuntut untuk ditonton.


Part 2 – Meet Him.. (Again)
Dengan langkah tergesa-gesa Marisa melangkah menuju parkiran dimana kedua orang tuanya dan Deka menunggu dirinya. Ketika menemukan mobil orang tuanya dengan Deka yang sedang menunggu di luar mobil—bersandar pada bagian depan mobil, ia mendesah lega. Setidaknya adiknya yang malam ini menjadi sopir dadakan tidak berniat meninggalkannya,.
                “Ya ampun, Mbak! Lo dari mane aja sih? Bilangnya mau naruh piring kotor ke tempatnya, tapi gak balik-balik. Bikin gue kesel tau, nggak? Untung aja nyokap nyegah gue biar nggak ninggalin lo di sini. Oh iya, tadi gue ketemu Bang Reno di dalem.” Deka menyambutnya dengan serombongan kalimat tidak penting yang diucapkannya hanya dalam satu tarikan napas. Gila, nih anak abis isi perut bacotnya makin jago aja, pikir Marisa dalam hati.
                Tunggu! Tadi Deka bilang apa di akhir ucapannya? Ketemu Reno? Jadi dia juga ketemu Reno di dalem?!  Marisa membelalakan matanya ketika sadar apa yang Deka ucapkan.
                “Gardeka Almalik Notosundjoyo...” Marisa menyebutkan nama lengkap adiknya yang membuat si empunya nama menengok ke arahnya ketika akan membuka pintu sopir. “Lo beneran ketemu Reno di dalem?” Lanjutnya. Suaranya yang bergetar—meski sudah ia usahakan senormal mungkin agar nggak ketahuan Deka—membuat sang adik berkerut kening.
                “Mbak, kita omongin di rumah aja, ya? Kasian mama papa nungguin kita. Mereka udah capek,” Deka yang mengerti keadaan sang kakak segera masuk ke dalam mobil disusul Marisa.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Mbak, gue boleh masuk, nggak?”
                Sebuah suara yang sudah sangat ia kenal menyadarkan Marisa dari lamunannya. Gadis itu segera menyeka air mata yang hampir mengering di pipinya dan melirik jam dinding yang ada di kamarnya. Sudah hampir tengah malam karena jam menunjukan pukul 11 lewat.
                “Masuk aja, dek. Pintunya nggak gue kunci, kok.” Marisa mempersilakan adiknya masuk.
                Deka masuk dengan membawakan dua gelas cokelat hangat yang baru saja ia buat di dapur. Cowok yang hanya terpaut 3 tahun lebih muda dari sang kakak itu menampilkan cengiran lebarnya ketika Marisa menatapnya heran. “Hai, Mbak.”
                “Ada apaan lo malem-malem main ke kamar gue?” tanya Marisa penuh selidik. Matanya menyipit dan mengikuti setiap gerak-gerik Deka yang mendekat ke arahnya setelah sebelumnya menutup pintu.
                “Mata lo nggak usah dibikin sipit gitu ah, Mbak. Syukurin aja kodrat lo yang terlahir sebagai orang Indonesia, bukan orang Jepang dengan mata sipit.” Deka mengabaikan pertanyaan Marisa.
                Marisa melempar bantal kecil yang sedang ia peluk ke arah Deka. Namun sayang, lemparannya meleset dan malah mengenai TV layar datar yang ada di dinding kamarnya.
                Deka terkekeh kecil dan menyerahkan salah satu cokelat panas yang ada di tangannya. Marisa masih bergeming menatapnya. Deka menghela napas dan berkata, “Tenang aja, Mbak. Cokelatnya nggak gue kasih racun tikus ataupun cairan kimia, kok. Mau bukti?”
                 Gadis berambut ikal tersebut melemparkan tatapan kesal kepada Deka dan mengambil gelas tersebut. Sebelum meminumnya, ia menghirup wangi cokelat panas yang selalu menenangkan hatinya sembari menutup matanya dan duduk bersila di atas kasur. Deka memperhatikan itu semua seraya menyeruput minumannya sendiri.
                “Mau cerita?” tawar Deka ketika melihat air muka kakaknya yang sudah agak baikan. Deka memang selalu siap untung mendengarkan segala keluh-kesah Marisa sejak dulu. Jarak umur yang tidak terlalu jauh serta kebiasaan saling curhat seperti inilah yang membuat mereka sangat dekat. Bahkan, ketika di Jepang pun Marisa rela menguras kantongnya hanya untuk menelpon Deka yang terkantuk-kantuk mendengarkan ceritanya—karena Marisa menelponnya tengah malam.
            Dengan pandangan menerawang Marisa memulai ceritanya, “Lo inget kan penyebab gue pisah sama Reno dulu?” Ketika melihat Deka mengangguk, ia melanjutkan. ”Waktu itu gue ngerasa udah ngelakuin hal yang bener. Merelakan orang yang gue cintai bersama orang lain dan kabur dari masalah. Gue nggak kuat kalo harus terus-menerus didesak orang itu untuk pergi dari hidup Reno.” Marisa tersenyum pahit mengingat masa lalunya. Bahkan, untuk menyebut nama seseorang yang telah menjadi perusak hubungannya pun ia tak kuat—dan tak sudi.
                Deka masih terdiam saat Marisa melanjutkan, “Dan sekarang... sekarang gue ngerasa bodoh. Gue nyesel, Dek. Gue pikir keputusan gue untuk pulang ke Jakarta itu hal yang biasa, gue nggak ada pikiran akan ketemu Reno lagi. Tapi—” suaranya tertelan isak tangis yang mendesak untuk keluar. Deka segera meletakan gelas yang dipegang Marisa sebelum terlepas dari genggaman gadis tersebut. Marisa merebahkan kepalanya ke dada bidang milik sang adik yang langsung disambut hangat oleh Deka.
                Deka sangat tahu bagaimana terpukulnya Marisa atas kebodohan yang ia lakukan di masa lalu. Hanya isak tangis Marisa yang masih menggema di kamar tersebut sebelum gadis berkulit putih bersih tersebut membuka suara, “Tadi gue ketemu Reno pas balikin piring. Awalnya gue cuma diajak kenalan sama orang yang nabrak gue pas mau ambil makanan, tapi gue nggak ngeh kalo Reno ada di sebelah dia. Sampai orang tersebut mengenalkan Reno sebagai sahabatnya.” Suara gadis itu kini sudah mulai normal walaupun isakan kecil masih terdengar disela-sela kalimatnya. “Gue kaget.. nggak tau mau ngomong apa. Kalo boleh jujur, gue kangen... kangen banget sama dia, Dek. Kalau lo tanya gue masih sayang sama dia, gue akan jawab iya. Tapi kalo lo tanya gue masih cinta sama dia, gue ragu untuk jawab iya.”
                Deka menghembuskan napasnya perlahan, tangannya membelai rambut kakak semata wayangnya dengan lembut. “Kalo gitu, kenapa lo nangis sekarang? Kenapa tadi lo nggak bilang ke dia kalo lo kangen sama dia, lo masih sayang sama dia?”
                “Gue nggak bisa, Deka!” Marisa menjauh dari dada Deka.
                “Keputusan semua di elo, Mbak. Gue sebagai adik cuma bisa mendukung dan memberi masukan. Udah malem, tidur gih. Gue mau balik ke kamar aja.” Deka bangkit berdiri dari kasur Marisa yang tadi didudukinya. Sebelum menutup pintu ia berkata, “Kalo butuh tempat curhat atau nangis-nangis bombay kayak tadi, panggil gue aja. Gue siap kok jadi tempat lo berkeluh-kesah, wahai kakakku yang cantiknya selangit ini.” Ia mengerling jail kepada Marisa dan segera menutup pintu sebelum bantal-bantal mulai melayang ke arahnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Seharian ini Marisa hanya mengurung dirinya di kamar. Keluar hanya kalau lapar atau ingin ke kamar mandi. Deka yang sedang libur kuliah merasa kasihan melihat kakak perempuan satu-satunya terlihat murung seharian. Oleh karena itu, Deka mengajak Marisa jalan-jalan. Awalnya Marisa sempat menolak, namun melihat wajah memelas Deka yang merasa bosan di rumah terus ia mengiyakan ajakan sang adik.
                Marisa sedang melihat-lihat berbagai macam tas yang terpajang di etalase sebuah toko tas bermerk terkenal ketika Deka menepuk pundaknya. “Mbak, gue ke toilet dulu ya, kebelet nih.”
                Marisa hanya mengangguk dan Deka segera berlalu dari hadapannya. Sepeninggal Deka ia memasuki toko tersebut dan memperhatikan desain tas-tas mahal yang terpajang di sana. Sekilas matanya menatap sebuah tote bag yang menurutnya ‘cantik’ dengan desain simple berwarna biru muda dan memikat matanya. Matanya mencari-cari price tag tas yang memikat hatinya ini dan segera mengembalikan tas tersebut ke tempatnya semula ketika melihat nominal harga yang tertera di sana.
                US$339.00
                Tote bag tersebut memiliki nominal angka yang sanggup membuat Marisa harus berpikir dua kali untuk membelinya. Ia harus merelakan separuh uang bulanan yang diberikan oleh papannya hanya untuk tote bag itu. Bisa mati aku dipenggal mama!
                Marisa memilih keluar dari toko tersebut dan mencari keberadaan Deka yang tak kunjung menghampirinya. Saat sedang menolehkan kepalanya ke arah toilet laki-laki berada, ia merasa tubuhnya ditabrak sesuatu, bukan, tapi seseorang. Saat tubuhnya hampir menyentuh lantai lengan kirinya langsung ditarik oleh orang dibelakangnya. Ia segera menolehkan kepalanya untuk melihat siapa orang yang telah menabraknya. Marisa melongo ketika matanya bertatapan langsung dengan orang tersebut.
                Reno!
                Deka yang melihat kekagetan di mata sang kakak langsung menengahi, “Mbak, lo nggak papa kan?”
                Marisa tersadar begitu pula Moreno yang sempat terperangah melihatnya. “Kok...?” Ucapan Marisa terhenti ketika Deka menyala.
                “Tadi kita ketemu di Starbucks, kebetulan Bang Reno mau ke lobby utama. Karena kita satu arah, aku ajak Bang Reno buat jalan bareng aja.”
                “Starbucks?” Marisa bertanya tidak mengerti.
                Deka nyengir sebelum berkata lagi, “Abis dari toilet gue mampir ke Starbucks, Mbak.”
                “Hai..” Moreno besuara.
                Marisa merasa canggung dengan keadaan ini, ia memilih untuk menampilkan senyumannya.
                “Kamu kemana aja selama ini?” Tiba-tiba Moreno bertanya dengan suara penuh kerinduan. Marisa terdiam.
                “Kuliah,” balasnya singkat.
                Moreno masih menatap Marisa dengan sorot mata yang memancarkan kerinduan mendalam terhadap gadis di depannya.
                Marisa mengalihkan pandangannya pada Deka. “Pulang yuk,” ajaknya. Deka mengangguk dan Marisa langsung menggamit lengannya. “Duluan ya, Ren.” Ucapnya sambil tersenyum sekilas pada cowok latino itu.
                Moreno hanya mengangguk dan memperhatikan punggung Marisa yang semakin menjauh dari pandangannya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Mbak, kenapa sikap lo tadi kayak gitu sih?” tanya Deka ketika mobil mereka sudah meluncur di atas jalanan ibu kota yang—tumben—malam ini lengang.
                Dahi  Marisa berkerut heran mendengar pertanyaan Deka. “Kayak gitu gimana maksud lo?”
                “Yaa.. Gitu.” Ia menjawab. Marisa semakin bingung. “Kenapa lo nggak ngobrol banyak sama dia? Gue tuh sengaja ajak dia jalan bareng ke arah lobby supaya ketemu sama lo, Mbak. Gue pikir, kalian bisa kangen-kangenan melepas rindu. Eh, nggak taunya malah diem-dieman kayak bocah baru kenal cinta.”
                Seandainya ada kain lap didekatnya, Marisa ingin sekali menyumpal mulut adik sablengnya ini. “Nggak usah bahas itu bisa?” Nada suara Marisa terdengar dingin di telinganya sendiri.
                Deka memilih menutup mulutnya.
                “Gue tau kalo lo masih sayang sama dia, Mbak. Cinta bahkan,” ucap Deka tiba-tiba. “Tapi, apa lo nggak bisa maafin dia?” lanjutnya lagi.
                “Maaf? Maksud lo?”
                “Mungkin aja kesalahan yang dulu itu cuma akal-akalan orang itu,” Deka menjalankan mobilnya memasuki komplek perumahan mereka. Di luar bulan purnama tampak bersinar penuh mengikuti mobil mereka.
                “Akal-akalan?”
                Deka mengklakson seorang cowok dan nyengir kepada orang yang ia klakson barusan. Ternyata itu Fiko, sahabatnya sedari kecil yang rumahnya hanya beda beberapa blok dari mereka. “Gue yakin, Bang Reno nggak mungkin ngelakuin hal sebejat itu. Pasti mak lampir sialan itu yang bikin cerita ngarang kayak gini.”
                Kalimat Deka barusan berhasil membuat Marisa terdiam. Otaknya sibuk berpikir sambil sesekali mengulang masa lalunya.
                “Mbak, mau sampe kapan lo duduk disitu terus? Udah nyampe, nih. Gue nggak mau diomelin nyokap cuma gara-gara ninggalin lo di sini dan kehabisan oksigen.” Deka memecah keheningan.
                Marisa mencibir sekilas dan segera melepas seat-beltnya. Saat tangannya bergerak untuk membuka pintu, suara Demi Lovato mengalun dari dalam tasnya. Dahinya berkerut heran ketika melihat siapa yang menelponnya, private number. Karena penasaran, Marisa menjawab panggilan tersebut. Deka memutuskan untuk melangkah ke dalam rumah setelah menghidupkan key alarm tanda pintu mobil telah terkunci.
                “Halo..”
                Hening. Tidak ada jawaban.
                “Halo?” Marisa masih menunggu dengan sabar. Hanya suara-suara bising yang sekarang terdengar dari seberang sana. Tak lama sambungan terputus. Marisa menatap ponselnya dengan heran. Ia memilih untuk mengabaikan keanehan barusan dan melangkah memasuki rumahnya.