Part 1 – Past Love
“Sa..
Marisa.. Marisa! Tunggu aku, Sa!”
Orang itu kembali memanggil
Marisa dengan suara yang sudah naik dua oktaf. Tetapi Marisa tidak peduli. Ia
terus berjalan, menembus hujan dan angin yang bertiup kencang tanpa mengenakan
jaket atau payung. Ia membiarkan dirinya basah oleh air hujan yang turun dengan
derasnya.
“Marisa Maudia Hapsari! Aku
sayang sama kamu, Sa! Aku nggak mau kehilangan kamu, tapi kenapa kamu ninggalin
aku, Sa? Apa salah aku? Bilang sama aku, Sa!” Lelaki itu mengejarnya dan
mengucapkan kalimat tersebut dengan suara serak.
Marisa tiba-tiba berhenti dan
hal itu membuat lelaki yang mengejarnya hampir saja menabraknya kalau ia tidak
menemukan keseimbangannya. “Kamu nggak punya salah apapun sama aku, Ren. Aku
cuma mau kamu tinggalin aku, udah itu aja!”
“Tapi kenapa, Sa? Kenapa?? Aku
sayang sama kamu. Tapi apa balasan kamu, Sa?!” Suara lelaki tersebut kembali
naik satu oktaf di kalimat terakhirnya setelah sebelumnya ia mengucapkan dengan
lirih.
“Tinggalin aku, Ren. Lupain aku.
Aku mohon..T-Tinggalin aku, Moreno!” ucap Marisa dengan penuh permohonan tanpa perlu
membalikan badannya untuk menatap lelaki yang ia sebut Moreno tadi. Suaranya
bergetar dan tubuhnya mulai menggigil. Tapi ia berusaha sekuat tenaga agar Reno
tidak menyadari keadaannya.
“Oke! Kalau itu mau kamu, aku
akan turutin itu. Tapi ingat, Marisa. Satu hal yang harus kamu camkan
baik-baik; aku nggak akan pernah ngelupain kamu. Aku akan terus mencintai kamu,
aku akan nunggu kamu sampai pada waktunya, sampai kamu mau nerima aku lagi dan
menjelaskan apa sebab kamu nyuruh aku ninggalin kamu kayak gini!”
Dengan napas tersengal dan
perasaan bercampur aduk, Moreno pergi dari tempat itu. Marisa menghembuskan
napas lega dan segera mencari taksi. Ia perlu menghangatkan diri dan
menenangkan hatinya. Karena jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tidak
ingin Reno pergi meninggalkannya.
Marisa terbangun dengan napas tersengal-sengal, ia melihat ke
sekelilingnya. Gelap. Ia segera mencari dimana ponselnya berada. Seketika
keningnya berkerut ketika melihat jam menunjukan pukul delapan tepat. Pantas
hari sudah gelap. Gadis berambut sebahu ini segera menghidupkan lampu dan menutup
tirai jendelanya. Untung ia sedang kedatangan tamu bulanan, jadi ia tidak perlu
khawatir karena melewatkan waktu sholat maghrib.
“Perasaan
tadi masih jam empat sore, deh. Cepet amat udah malem aja,” ucapnya kepada
dirinya sendiri. Marisa keluar dari kamarnya dan berjalan menuruni tangga
menuju dapur. Sebuah kertas post-it
berwarna kuning yang menarik perhatiannya tertempel di pintu kulkas. Dengan
cepat ia membacanya.
Sa, mama sama
papa pergi ke rumah Tante Desi dulu, ya. Deka juga ikut sama kita. Kalo laper
panasin makaroni skotel yang ada di kulkas aja.
With love,
Mom,
Dad, and Azka
Marisa
mendengus sebal ketika membacanya. Tega-teganya kedua orangtuanya dan sang adik
pergi tanpa mengajaknya. Dengan wajah cemberut ia mengeluarkan makaroni skotel yang
dimaksud sang mama dari kulkas dan memanaskannya di microwave. Sembari menunggu makaroninya siap, Marisa
mengingat-ingat lagi mimpinya tadi.
Bukan. Bukan
mimpi. Karena itu nyata sekali. Yah, itu memang kejadian nyata. Dan ia sangat
menyesalinya; kenapa ia harus memimpikan peristiwa itu? Ia ingat sekali
penyebab dirinya harus berpisah dengan kekasihnya—cinta pertamanya—semasa SMA
tersebut. Tanpa sadar air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Dengan
cepat ia hilangkan ingatan tersebut dari otaknya dan menyeka air mata sebelum turun ke pipinya. Ia sudah
lelah menangis. Menangisi kebodohannya sendiri.
Dan sekarang bukan waktunya untuk menangis serta menyesali kebodohannya.
Ting!
Microwave berbunyi sekali tanda makanan
siap untuk dihidangkan. Marisa segera mengeluarkan makaroni kesukaanya dan
menyatapnya dengan lahap untuk mengalihkan pikirannya dari mimpi tersebut.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hari ini adalah hari ketiga Marisa ada di Indonesia. Hampir
setahun ia tidak pulang ke Indonesia dan hal itu membuat sang Mama mengomelinya
setiap kali menelpon beliau. Dan sekarang disaat liburan semester, ia
menyempatkan dirinya untuk pulang ke Jakarta. Marisa memang tidak berkuliah di
dalam negeri, ia memilih berkuliah di Meiji Daigaku atau lebih dikenal sebagai
University of Meiji atas dasar beasiswa yang didapatnya untuk jurusan Business
Administration.
Universitas
Meiji yang terletak di daerah Kandasurugadai di Tokyo sempat membuat Mamanya
ketar-ketir karena kemampuan anak gadisnya dalam berbahasa Jepang tidak semahir
sang suami yang sempat ditugaskan ke Jepang selama empat tahun. Oleh karena itu
Marisa mengambil les kilat berbahasa Jepang di suatu tempat kursus dan berlatih
berbicara menggunakan bahasa Jepang dengan sang Papa walaupun masih belum
mahir.
Marisa selalu
ingat bagaimana kerasnya ia berjuang agar bisa mendapatkan beasiswa ini dan
mempertahankan prestasinya—kalau tidak mau beasiswanya dicabut. Alasan lain ia
memilih mengambil beasiswa tersebut adalah untuk menghindari seseorang. Ia
tidak ingin bertemu dengan orang tersebut untuk beberapa waktu lamanya sehingga
ia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepadanya. Mengingat orang
tersebut mau tak mau membuatnya mengingat kebodohannya lima tahun yang lalu.
Cepat-cepat ia mengusir bayangan tersebut dari otaknya.
“HOI! Bengong
aja,” Marisa tersentak kaget ketika seseorang menepuk pundaknya dengan keras
dari belakang. Tanpa perlu repot-repot menengok untuk melihat siapa yang
mengagetkannya, Marisa mengelus dadanya.
“Damn you, Deka! You shocked me,” omel
Marisa kepada adik semata wayangnya.
Deka bersiul
sebelum mengedipkan sebelah matanya nakal. “Lagian pagi-pagi udah bengong aja
kayak burung lagi hamil,” Deka berkelit dan duduk di sebelah kakaknya. “Ada
apa, Mbak?”
Marisa
mendengus mendengar ucapan adik sablengnya. Burung hamil? Sejak kapan ia tahu
kalau burung hamil itu kerjaannya bengong? Oke, lupakan tentang burung hamil,
pikir Marisa.
“None of your business,” jawab Marisa
jutek.
“Duileeehh..
Udah lama gak pulang ke Indo jadi galak lo, Mbak. Makan ape lo di sana?” Jarak
umur mereka yang hanya terpaut tiga tahun membuat mereka lebih sering
menggunakan ‘gue-elo’ satu sama lain.
“Berisik lo,
gue sumpel pake roti gosong juga lo, ya!” ancam Marisa karena kesal Deka
terlalu ‘kepo’ terhadapnya.
Terdengar
suara Tiara Hapsari, mama mereka dari dalam rumah, “Marisa, Deka, jangan
berantem terus kenapa, sih. Kamu kan baru pulang, Sa. Bukannya kangen-kangenan
sama adeknya malah berantem. Kamu juga, Deka, jangan cari gara-gara mulu sama
kakak kamu, bisa?”
“Ehehehe...
Nggak bisa, Mam. Namanya kangen ya susah, lah.” Deka menyahut dengan santainya
disertai cengiran lebarnya.
“Untung gue
nggak kangen sama lo.”
“Hei, sudah,
ah. Pusing mama liat kalian berantem mulu kayak anak umur 5 tahun.” Wanita
berumur 48 tahun ini menggeleng-gelengkan kepalanya. Heran melihat sikap kedua
buah hatinya ini. “Sa, nanti malem kamu nggak kemana-mana, kan?”
“Nggak, Mam.
Kenapa?”
“Bagus, ikut
mama ke pernikahan anaknya temen mama, ya? Kamu juga, Deka,” ucap beliau kepada
kedua anaknya.
“Emang harus
ya, Ma?” Deka bersuara terlebih dahulu. Nada suaranya terdengar merajuk.
“Aku ikut
deh, Mam. Bosen di rumah,” Marisa mengiyakan permintaan Tiara.
Mama
tersenyum kepada Marisa kemudian tatapannya beralih kepada Deka. Kali ini lebih
tajam agar si bungsu mengiyakan permintaanya. “Jadi gimana, Deka?”
“I-Iya deh,
Ma.. Aku ikut,” ucap Deka pasrah. Terpaksa ia membatalkan janjinya nobar motogp dengan teman-temannya di rumah
Nino, daripada uang bulanannya harus dipotong!
“Anak
pintar,” Tiara tersenyum senang seraya mengelus-elus puncak kepala anak
bungsunya. Membuat Deka kesal karena merasa dirinya diperlakukan seperti anak
balita.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
The whispers in
the morning
Of lovers
sleeping tight
Are rolling like
thunder now
As I look in your
eyes
I hold on to your
body
And feel each
move you make
Your voice is
warm and tender
A love that I
could not forsake
Suara penyanyi cantik tersebut mengalun indah membawakan lagu milik
penyanyi terkenal Celine Dion, The Power Of Love. Marisa yang sedang meminum
minumannya sempat tersedak dan terbatuk-batuk beberapa kali ketika mendengar
lagu ini. Deka sampai harus memijat tengkuknya yang malam ini terekspose karena
ia hanya mengenakan dress selutut bertali spaggheti dan rambutnya yang digelung
ke atas membentuk konde kecil.
Untuk
beberapa saat setelah batuknya mereda, Marisa terdiam. Ingatannya kembali ke empat
tahun yang lalu.
“Sayang,
kamu denger apa sih?” tanya seorang lelaki yang duduk di sebelahnya. Mereka
sedang berada di sebuah taman kota dan baru saja menyelesaikan jogging pagi ini.
“The Power Of Love,” jawabnya
cuek.
“Aku mau denger dong?” pinta si
lelaki.
“Nih,” Marisa menyerahkan salah
satu headset-nya kepada lelaki
tampan di sebelahnya. Suara Celine Dion masih mengalun indah dari iPod
miliknya. Ia sangat menyukai lagu ini.
“Lagunya enak,” komentar lelaki
yang tak lain adalah pacarnya ini.
Marisa tergelak dan tersenyum
geli. “Emangnya kamu kira ini makanan? Sampe dibilang enak gitu?”
Lelaki tersebut terlihat gemas
dengan tingkah sang pacar, “Ih, bukan itu maksud, sayaaaaaaannngg.. Kamu
ngerti, kan?”
“Hahaha.. Iya.. Iya, aku ngerti
kok maksud kamu. Muka kamu kalo lagi kesel lucu banget, deh! Hahaha,” Marisa
kembali menertawakan pacarnya.
“Awas kamu, yaaa..” Marisa
berdiri dan berlari sekencangnya agar terhindar dari serangan lelaki tersebut.
Ia tertawa riang sambil sesekali menjulurkan lidahnya untuk mengejek sang
pacar. Yah, karena dari penampilan luar Marisa sudah kalah bodi dengan si
lelaki, dapat dipastikan sang pacar dapat menyusulnya dan menangkapnya dengan
mudah.
“Yak, kena!” seru lelaki itu
dengan bangga karena dapat menangkap dan memeluk tubuh mungil gadisnya dengan
mudah.
Marisa meronta minta diturunkan
karena sekarang sang pacar sudah menggendongnya dan membawanya ke tempat duduk.
Hal tersebut membuat beberapa pasang mata melirik mereka dan terkagum-kagum
melihat ketampanan sang lelaki serta kecantikan sang gadis.
“Kamu bikin orang-orang
ngeliatin kita, tau!” semprot Marisa saat mereka sudah duduk. Si pacar terlihat
tidak peduli dengan mengangkat bahunya acuh tak acuh dan nyengir kuda.
“Biarin, yang penting yang aku
gendong ituu.. Kamu!” sahutnya seraya tersenyum lebar dan merangkul Marisa
dengan penuh kasih sayang. Ia mengeratkan rangkulannya di pundak Marisa tatkala
memergoki beberapa mata lelaki lain melirik pacarnya dengan kagum. Sikapnya
yang protektif terkadang membuat Marisa kesal namun juga senang.
“Morenooooo.. Udah, dong. Malu,
tau!” Marisa berusaha melepaskan rangkulan lelaki yang dipanggilnya Moreno
tersebut karena menurutnya pacarnya tersebut berlebihan.
Reno meliriknya sebelum
melemparkan pandangannya ke arah pepohonan yang rimbun, “Aku mau lepas, tapi
kamu harus janji satu hal.”
Marisa menatapnya penasaran.
“Apa?”
“Kamu harus terus ada di samping
aku sampe maut yang memisahkan.”
Marisa menatapnya dengan binar
mata bahagia. Perlahan senyumnya mengembang. “Aku janji.”
Moreno tersenyum lembut sebelum
mengucapkan, “I love you, mi quèrida.”
“Love you
too, my prince.”
Marisa tersadar dari lamunannya ketika mendengar penyanyi cantik
di atas panggung menyelesaikan lagu tersebut. Seketika matanya berkelana
mengelilingi ball-room yang sangat
luas. Ia merasa ada yang memperhatikannya sedari tadi, namun ia tidak menemukan
siapa yang memperhatikannya. Para tamu yang hadir sibuk dengan makanannya atau
berbincang-bincang dengan kerabat maupun relasi bisnis. Maklum, pesta
pernikahan yang ia hadiri ini milik calon pewaris Tata Group, perusahaan yang
bergerak di bidang industri mebel dan perumahan terbesar di Indonesia. Jadi
wajar kalau yang ia temui di sini adalah kaum sosialita yang levelnya jauh di
atasnya.
“Dek, lo
dapet Zuppa Soup dimana? Kok gue nyari dari tadi nggak nemu-nemu, ya?” tanya
Marisa ketika melihat Deka kembali dengan semangkuk Zuppa Soup di tangan. Ini
anak, padahal ia baru saja menghabiskan Cremè
Brule dan Mini Cheese Quiche serta dua buah pudding cokelat, tapi kok nggak
ada kenyang-kenyangnya, ya?
“Lah? Lo
nggak dengerin omongan gue tadi ya, Mbak?” Deka terlihat heran ketika Marisa
bertanya dimana letak meja khusus Zuppa Soup. Padahal tadi sebelum pergi
mengambil makanan ini ia sempat bilang kepada Marisa kalau meja khusus Zuppa
Soup ada di sebelah Cremè Brule seraya
menunjuk tempatnya. Mengingat
kakaknya yang satu ini penggila Zuppa Soup, ia berkewajiban untuk
memberitahukan dimana letak Zuppa Soup bila Deka yang menemukannya terlebih
dahulu.
“Umm..
Kayaknya pas lo ngomong tadi gue lagi bengong, deh. Hehehe..” Marisa
cengengesan sendiri sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Deka menghela
napas, pantas saja Marisa tidak menyahut ataupun bereaksi ketika ia bilang akan
mengambil makanan favorit mereka ini. “Ya udah, ambil sana. Ada di sebelah Cremè Brule, ya.” Deka mengingatkan
seraya memasukan sesendok Zuppa Soup ke dalam mulutnya. Ia tidak menggubris
tatapan beberapa gadis yang terlihat menyukai wajah tampannya yang asli
Indonesia dengan rahang tegas serta alis tebal dan sorot mata ramah.
Marisa segera
ngeloyor pergi setelah mengacungkan jempolnya pada Deka. Baru beberapa langkah
ia berjalan tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang keras menabrak pundak kanannya.
Ia menutup matanya, bersiap merasakan empuknya karpet ball-room yang tebal ini di bokongnya. Namun ia tidak merasakan
apapun. Yang ia rasakan justru sebuah tangan yang menopang punggungnya agar tak
jatuh.
Gadis ini
segera membuka matanya dan tatapan hangat seorang lelaki langsung menyambutnya,
“Sorry..” ucap si lelaki disertai
senyum ramah. Ia menampilkan raut muka bersalah dan membantu Marisa berdiri
tegak diatas heels setinggi 7
centimeter.
“No problem,” Marisa membalas senyum si
lelaki tak kalah ramahnya. Menyadari suasana menjadi canggung, Marisa memilih membuka
suara terlebih dahulu, “Thanks for your
help.”
“With pleasure, lady.” Si lelaki
memperhatikan punggung Marisa yang menjauh. Ia merasa pernah bertemu gadis itu.
Tapi, dimana? Ia memilih mengabaikan pikiran tersebut dan menghampiri
sahabatnya yang datang terlambat karena harus mengurus beberapa hal di
perusahaan milik keluarga besar sahabatnya itu sebelum menghadiri pernikahan
kakaknya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Marisa meletakan mangkuk bekas Zuppa Soup-nya ke atas meja khusus
piring kotor. Ketika akan kembali tempat duduknya, ia merasa lengannya ditahan
seseorang. Gadis itu menoleh ke samping kanannya untuk melihat siapa yang
menahannya dan matanya bertumbukan dengan tatapan hangat milik orang yang
menabraknya tadi. Lelaki tersebut tersenyum manis kepadanya dan mau tak mau
membuat Marisa tersenyum lembut.
Si lelaki sepertinya tidak sendiri, namun
Marisa memilih mengabaikan orang yang berdiri di sebelah orang yang menabraknya
tadi tanpa meliriknya sama sekali. “Hei,” ucap si lelaki membuka percakapan. “Sorry ganggu, tapi gue cuma mau ngajak
kenalan. Boleh?”
“Sure.”
“Kenalin, gue
Beno Anggara,” lelaki yang bernama Beno ini memperkenalkan dirinya seraya
menjulurkan tangan kanannya ke depan. Mengajak Marisa bersalaman.
“Marisa
Maudia,” ucap Marisa dengan senyum manis.
Beno beralih
pada seseorang yang berdiri di sebelahnya, “Dan ini...” Beno tidak menyadari
gestur tubuh orang di sebelahnya sudah berubah sejak tadi ia menahan Marisa.
Kaku dan kaget.
Seketika
Marisa membeku di tempatnya. He’s here!
Marisa berteriak dalam hati. Jantungnya berpacu cepat dan keringat dingin mulai
mengaliri dahinya.
“Moreno..”
bisiknya. Tidak cukup pelan karena Beno dapat mendengarnya menyebutkan nama
lelaki di sampingnya bersamaan ketika Beno menyebutkan nama sahabatnya ini.
“Ma-Mari..sa?”
Beno menatap
dua orang di hadapannya bergantian. “Kalian udah saling kenal?” tanyanya dengan
alis yang terangkat sebelah.
Tidak ada
yang menjawab. Mereka berdua hanya bertatapan dengan kerinduan yang terpancar
melalui tatapan masing-masing. Suara Demi Lovato yang menyanyikan Heart Attack
memecahkan keheningan di antara mereka bertiga.
Marisa segera
membuka risleting tasnya dan mencari dimana ponselnya. Setelah mendapatkan
benda tersebut ia segera mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya tanpa
melihat caller ID terlebih dahulu.
“Halo..”
“Mbak, lo
dimaneeee? Kita udah mau pulang, nih. Nyokap ngira lo ilang, tau?” Marisa
sangat kenal dengan suara ini. Jadi tanpa basa-basi lagi ia segera menyudahi
pembicaraannya.
“I-Iya, gue
ke sana sekarang.”
“Sorry, but I have to go now. Nice to meet
you, guys!” Marisa menampilkan wajah
bersalahnya dengan tujuan menutupi kegugupannya akibat pertemuan tidak terduganya
dengan Moreno, mantan pacarnya saat SMA.
Moreno hanya
mampu menatap punggung Marisa yang semakin menjauh. Seketika kenangan-kenangan
manisnya di masa silam berkelebat di kepalanya. Berputar dengan cepat bagaikan
film gratis yang menuntut untuk ditonton.
Part 2 – Meet Him.. (Again)
Dengan langkah tergesa-gesa Marisa melangkah menuju parkiran
dimana kedua orang tuanya dan Deka menunggu dirinya. Ketika menemukan mobil
orang tuanya dengan Deka yang sedang menunggu di luar mobil—bersandar pada
bagian depan mobil, ia mendesah lega. Setidaknya adiknya yang malam ini menjadi
sopir dadakan tidak berniat meninggalkannya,.
“Ya ampun,
Mbak! Lo dari mane aja sih? Bilangnya mau naruh piring kotor ke tempatnya, tapi
gak balik-balik. Bikin gue kesel tau, nggak? Untung aja nyokap nyegah gue biar
nggak ninggalin lo di sini. Oh iya, tadi gue ketemu Bang Reno di dalem.” Deka
menyambutnya dengan serombongan kalimat tidak penting yang diucapkannya hanya
dalam satu tarikan napas. Gila, nih anak abis isi perut bacotnya makin jago
aja, pikir Marisa dalam hati.
Tunggu! Tadi
Deka bilang apa di akhir ucapannya? Ketemu Reno? Jadi dia juga ketemu Reno di
dalem?! Marisa membelalakan matanya
ketika sadar apa yang Deka ucapkan.
“Gardeka
Almalik Notosundjoyo...” Marisa menyebutkan nama lengkap adiknya yang membuat
si empunya nama menengok ke arahnya ketika akan membuka pintu sopir. “Lo
beneran ketemu Reno di dalem?” Lanjutnya. Suaranya yang bergetar—meski sudah ia
usahakan senormal mungkin agar nggak ketahuan Deka—membuat sang adik berkerut
kening.
“Mbak, kita
omongin di rumah aja, ya? Kasian mama papa nungguin kita. Mereka udah capek,”
Deka yang mengerti keadaan sang kakak segera masuk ke dalam mobil disusul
Marisa.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Mbak, gue boleh masuk, nggak?”
Sebuah suara
yang sudah sangat ia kenal menyadarkan Marisa dari lamunannya. Gadis itu segera
menyeka air mata yang hampir mengering di pipinya dan melirik jam dinding yang
ada di kamarnya. Sudah hampir tengah malam karena jam menunjukan pukul 11
lewat.
“Masuk aja,
dek. Pintunya nggak gue kunci, kok.” Marisa mempersilakan adiknya masuk.
Deka masuk
dengan membawakan dua gelas cokelat hangat yang baru saja ia buat di dapur. Cowok
yang hanya terpaut 3 tahun lebih muda dari sang kakak itu menampilkan cengiran
lebarnya ketika Marisa menatapnya heran. “Hai, Mbak.”
“Ada apaan lo
malem-malem main ke kamar gue?” tanya Marisa penuh selidik. Matanya menyipit
dan mengikuti setiap gerak-gerik Deka yang mendekat ke arahnya setelah
sebelumnya menutup pintu.
“Mata lo
nggak usah dibikin sipit gitu ah, Mbak. Syukurin aja kodrat lo yang terlahir
sebagai orang Indonesia, bukan orang Jepang dengan mata sipit.” Deka
mengabaikan pertanyaan Marisa.
Marisa
melempar bantal kecil yang sedang ia peluk ke arah Deka. Namun sayang,
lemparannya meleset dan malah mengenai TV layar datar yang ada di dinding
kamarnya.
Deka terkekeh
kecil dan menyerahkan salah satu cokelat panas yang ada di tangannya. Marisa
masih bergeming menatapnya. Deka menghela napas dan berkata, “Tenang aja, Mbak.
Cokelatnya nggak gue kasih racun tikus ataupun cairan kimia, kok. Mau bukti?”
Gadis berambut ikal tersebut melemparkan
tatapan kesal kepada Deka dan mengambil gelas tersebut. Sebelum meminumnya, ia
menghirup wangi cokelat panas yang selalu menenangkan hatinya sembari menutup
matanya dan duduk bersila di atas kasur. Deka memperhatikan itu semua seraya
menyeruput minumannya sendiri.
“Mau cerita?”
tawar Deka ketika melihat air muka kakaknya yang sudah agak baikan. Deka memang
selalu siap untung mendengarkan segala keluh-kesah Marisa sejak dulu. Jarak
umur yang tidak terlalu jauh serta kebiasaan saling curhat seperti inilah yang
membuat mereka sangat dekat. Bahkan, ketika di Jepang pun Marisa rela menguras
kantongnya hanya untuk menelpon Deka yang terkantuk-kantuk mendengarkan
ceritanya—karena Marisa menelponnya tengah malam.
Dengan
pandangan menerawang Marisa memulai ceritanya, “Lo inget kan penyebab gue pisah
sama Reno dulu?” Ketika melihat Deka mengangguk, ia melanjutkan. ”Waktu itu gue
ngerasa udah ngelakuin hal yang bener. Merelakan orang yang gue cintai bersama
orang lain dan kabur dari masalah. Gue nggak kuat kalo harus terus-menerus
didesak orang itu untuk pergi dari hidup Reno.” Marisa tersenyum pahit
mengingat masa lalunya. Bahkan, untuk menyebut nama seseorang yang telah
menjadi perusak hubungannya pun ia tak kuat—dan tak sudi.
Deka masih
terdiam saat Marisa melanjutkan, “Dan sekarang... sekarang gue ngerasa bodoh.
Gue nyesel, Dek. Gue pikir keputusan gue untuk pulang ke Jakarta itu hal yang
biasa, gue nggak ada pikiran akan ketemu Reno lagi. Tapi—” suaranya tertelan
isak tangis yang mendesak untuk keluar. Deka segera meletakan gelas yang
dipegang Marisa sebelum terlepas dari genggaman gadis tersebut. Marisa
merebahkan kepalanya ke dada bidang milik sang adik yang langsung disambut
hangat oleh Deka.
Deka sangat
tahu bagaimana terpukulnya Marisa atas kebodohan yang ia lakukan di masa lalu.
Hanya isak tangis Marisa yang masih menggema di kamar tersebut sebelum gadis
berkulit putih bersih tersebut membuka suara, “Tadi gue ketemu Reno pas balikin
piring. Awalnya gue cuma diajak kenalan sama orang yang nabrak gue pas mau
ambil makanan, tapi gue nggak ngeh kalo Reno ada di sebelah dia. Sampai orang
tersebut mengenalkan Reno sebagai sahabatnya.” Suara gadis itu kini sudah mulai
normal walaupun isakan kecil masih terdengar disela-sela kalimatnya. “Gue
kaget.. nggak tau mau ngomong apa. Kalo boleh jujur, gue kangen... kangen
banget sama dia, Dek. Kalau lo tanya gue masih sayang sama dia, gue akan jawab
iya. Tapi kalo lo tanya gue masih cinta sama dia, gue ragu untuk jawab iya.”
Deka
menghembuskan napasnya perlahan, tangannya membelai rambut kakak semata
wayangnya dengan lembut. “Kalo gitu, kenapa lo nangis sekarang? Kenapa tadi lo
nggak bilang ke dia kalo lo kangen sama dia, lo masih sayang sama dia?”
“Gue nggak
bisa, Deka!” Marisa menjauh dari dada Deka.
“Keputusan
semua di elo, Mbak. Gue sebagai adik cuma bisa mendukung dan memberi masukan.
Udah malem, tidur gih. Gue mau balik ke kamar aja.” Deka bangkit berdiri dari
kasur Marisa yang tadi didudukinya. Sebelum menutup pintu ia berkata, “Kalo
butuh tempat curhat atau nangis-nangis bombay kayak tadi, panggil gue aja. Gue
siap kok jadi tempat lo berkeluh-kesah, wahai kakakku yang cantiknya selangit
ini.” Ia mengerling jail kepada Marisa dan segera menutup pintu sebelum
bantal-bantal mulai melayang ke arahnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Seharian ini Marisa hanya mengurung dirinya di kamar. Keluar hanya
kalau lapar atau ingin ke kamar mandi. Deka yang sedang libur kuliah merasa
kasihan melihat kakak perempuan satu-satunya terlihat murung seharian. Oleh
karena itu, Deka mengajak Marisa jalan-jalan. Awalnya Marisa sempat menolak,
namun melihat wajah memelas Deka yang merasa bosan di rumah terus ia mengiyakan
ajakan sang adik.
Marisa sedang
melihat-lihat berbagai macam tas yang terpajang di etalase sebuah toko tas
bermerk terkenal ketika Deka menepuk pundaknya. “Mbak, gue ke toilet dulu ya,
kebelet nih.”
Marisa hanya
mengangguk dan Deka segera berlalu dari hadapannya. Sepeninggal Deka ia
memasuki toko tersebut dan memperhatikan desain tas-tas mahal yang terpajang di
sana. Sekilas matanya menatap sebuah tote
bag yang menurutnya ‘cantik’ dengan desain simple berwarna biru muda dan
memikat matanya. Matanya mencari-cari price
tag tas yang memikat hatinya ini dan segera mengembalikan tas tersebut ke
tempatnya semula ketika melihat nominal harga yang tertera di sana.
US$339.00
Tote bag tersebut memiliki nominal angka
yang sanggup membuat Marisa harus berpikir dua kali untuk membelinya. Ia harus merelakan
separuh uang bulanan yang diberikan oleh papannya hanya untuk tote bag itu. Bisa mati aku dipenggal mama!
Marisa
memilih keluar dari toko tersebut dan mencari keberadaan Deka yang tak kunjung
menghampirinya. Saat sedang menolehkan kepalanya ke arah toilet laki-laki
berada, ia merasa tubuhnya ditabrak sesuatu, bukan, tapi seseorang. Saat
tubuhnya hampir menyentuh lantai lengan kirinya langsung ditarik oleh orang
dibelakangnya. Ia segera menolehkan kepalanya untuk melihat siapa orang yang
telah menabraknya. Marisa melongo ketika matanya bertatapan langsung dengan
orang tersebut.
Reno!
Deka yang
melihat kekagetan di mata sang kakak langsung menengahi, “Mbak, lo nggak papa
kan?”
Marisa
tersadar begitu pula Moreno yang sempat terperangah melihatnya. “Kok...?”
Ucapan Marisa terhenti ketika Deka menyala.
“Tadi kita
ketemu di Starbucks, kebetulan Bang Reno mau ke lobby utama. Karena kita satu
arah, aku ajak Bang Reno buat jalan bareng aja.”
“Starbucks?”
Marisa bertanya tidak mengerti.
Deka nyengir
sebelum berkata lagi, “Abis dari toilet gue mampir ke Starbucks, Mbak.”
“Hai..”
Moreno besuara.
Marisa merasa
canggung dengan keadaan ini, ia memilih untuk menampilkan senyumannya.
“Kamu kemana
aja selama ini?” Tiba-tiba Moreno bertanya dengan suara penuh kerinduan. Marisa
terdiam.
“Kuliah,”
balasnya singkat.
Moreno masih
menatap Marisa dengan sorot mata yang memancarkan kerinduan mendalam terhadap
gadis di depannya.
Marisa
mengalihkan pandangannya pada Deka. “Pulang yuk,” ajaknya. Deka mengangguk dan
Marisa langsung menggamit lengannya. “Duluan ya, Ren.” Ucapnya sambil tersenyum
sekilas pada cowok latino itu.
Moreno hanya
mengangguk dan memperhatikan punggung Marisa yang semakin menjauh dari
pandangannya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Mbak, kenapa sikap lo tadi kayak gitu sih?” tanya Deka ketika
mobil mereka sudah meluncur di atas jalanan ibu kota yang—tumben—malam ini
lengang.
Dahi Marisa berkerut heran mendengar pertanyaan
Deka. “Kayak gitu gimana maksud lo?”
“Yaa.. Gitu.”
Ia menjawab. Marisa semakin bingung. “Kenapa lo nggak ngobrol banyak sama dia?
Gue tuh sengaja ajak dia jalan bareng ke arah lobby supaya ketemu sama lo,
Mbak. Gue pikir, kalian bisa kangen-kangenan melepas rindu. Eh, nggak taunya
malah diem-dieman kayak bocah baru kenal cinta.”
Seandainya
ada kain lap didekatnya, Marisa ingin sekali menyumpal mulut adik sablengnya
ini. “Nggak usah bahas itu bisa?” Nada suara Marisa terdengar dingin di
telinganya sendiri.
Deka memilih
menutup mulutnya.
“Gue tau kalo
lo masih sayang sama dia, Mbak. Cinta bahkan,” ucap Deka tiba-tiba. “Tapi, apa
lo nggak bisa maafin dia?” lanjutnya lagi.
“Maaf? Maksud
lo?”
“Mungkin aja
kesalahan yang dulu itu cuma akal-akalan orang itu,” Deka menjalankan mobilnya
memasuki komplek perumahan mereka. Di luar bulan purnama tampak bersinar penuh
mengikuti mobil mereka.
“Akal-akalan?”
Deka
mengklakson seorang cowok dan nyengir kepada orang yang ia klakson barusan.
Ternyata itu Fiko, sahabatnya sedari kecil yang rumahnya hanya beda beberapa
blok dari mereka. “Gue yakin, Bang Reno nggak mungkin ngelakuin hal sebejat
itu. Pasti mak lampir sialan itu yang bikin cerita ngarang kayak gini.”
Kalimat Deka
barusan berhasil membuat Marisa terdiam. Otaknya sibuk berpikir sambil sesekali
mengulang masa lalunya.
“Mbak, mau
sampe kapan lo duduk disitu terus? Udah nyampe, nih. Gue nggak mau diomelin
nyokap cuma gara-gara ninggalin lo di sini dan kehabisan oksigen.” Deka memecah
keheningan.
Marisa
mencibir sekilas dan segera melepas seat-beltnya.
Saat tangannya bergerak untuk membuka pintu, suara Demi Lovato mengalun dari
dalam tasnya. Dahinya berkerut heran ketika melihat siapa yang menelponnya, private number. Karena penasaran, Marisa
menjawab panggilan tersebut. Deka memutuskan untuk melangkah ke dalam rumah
setelah menghidupkan key alarm tanda
pintu mobil telah terkunci.
“Halo..”
Hening. Tidak
ada jawaban.
“Halo?”
Marisa masih menunggu dengan sabar. Hanya suara-suara bising yang sekarang
terdengar dari seberang sana. Tak lama sambungan terputus. Marisa menatap ponselnya
dengan heran. Ia memilih untuk mengabaikan keanehan barusan dan melangkah
memasuki rumahnya.