Sunday, October 20, 2013

Hate That I Love You (Part 7)

Haloooo, kembali lagi sama author yang absurd dan masih cere ini. Kali ini gue balik bawain cerita yang judulnya Hate That I Love You. Kalo boleh cerita dikit sih, cerita ini terinspirasi dari lagunya Rihanna ft. Ne-Yo dengan judul yang sama. And guess what! Gue dapet ide untuk bikin cerita ini ketika lagi 'nongkrong' di kamar mandi. Emang deh, nongkrong di kamar mandi itu salah satu tempat gue mencari dan mendapatkan inspirasi selain tempat ramai. Oh iya, kalo ada yang punya akun Wattpad juga bisa baca cerita gue di akun gue, unamenya auliaravina. Oke deh, cukup sekian cuap-cuapnya. Enjoy it, guys!


Part 7 – The Awkward Moment Is When...
Babe,” Stevent menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan Vannesa. Vannesa yang merasa risih karena dibuntuti terus sejak tadi meliriknya dengan tatapan tajam.
                “Sekali lagi lo panggil gue pake sebutan babe, ini sedotan melayang ke mata lo!” ancamnya.
                “Ih, kok kamu galak banget, sih, hon?” Steve mengubah panggilannya kepada Vannesa. Ia berusaha menahan tawanya karena melihat wajah kesal Vannesa yang menurutnya sangat menggemaskan.
                “Stevent!”
                “Apa?”
                “Stop act like you are my boyfriend!
                “We’re a couple, right? Wajar dong kalo gue manggil lo dengan panggilan-panggilan kesayangan itu,” jawab Stevent dengan polosnya.
                Vannesa mendengus mendengar jawaban Steve. Ia kembali meminum jus jeruknya yang tersisa setengah gelas lagi. Tanpa mereka berdua sadari, seorang gadis mengawasi tingkah mereka tidak jauh dari tempat mereka duduk. Gadis tersebut mengepalkan tangannya di atas meja kantin. Matanya berkilat marah melihat Stevent yang merayu Vannesa.
                “Steveeee!! Bisa diem nggak?! Petakilan banget, sih,” Nessa bersungut-sungut melihat Steve yang menggodanya dengan gombalan-gombalan absurd dan membuatnya ingin muntah.
                “Nessa cantiiikk, ntar pulang sekolah jalan, yuk?” Steve mendekatkan wajahnya ke pundak Nessa sambil memainkan alisnya naik turun.
                “Ogah,” jawab Vannesa cepat.
                “Jawabnya cepet amat, babe. Nggak mau dipikir-pikir dulu, hmm?”
                “Males.”
                “Oke, deh. Kalo kamu nggak mau jalan itu artinya aku yang main ke rumah kamu, yaa..”
                “No way—!
                “Yes way,” sela Stevent cepat. Wajahnya dihiasi senyum jail dan membuat Vannesa bergidik ngeri.
******************************************************************************
“Hai, babe,” Vannesa terhuyung sedikit ke belakang ketika tiba-tiba Stevent menghalangi jalannya yang hendak melangkah menuju gerbang sekolah. Hari ini supir yang khusus mengantar dan menjemputnya sedang menggantikan tugas Pak Min—supir pribadi sang Mama—yang sedang sakit.
                “Ck! Bisa nggak, sih lo nggak ganggu gue sehariii aja?” tanya Vannesa kesal.
                “Nggak bisa,” jawab Steve dengan polosnya. Cengiran lebar menghiasi wajahnya melihat Vannesa menghentak-hentakkan kakinya ke tanah.
                “Yuk,” ajak Steve dan menggandeng tangan Vannesa menuju tempat mobilnya diparkir.
                Vannesa menatap Stevent dengan heran. “Loh? Mau kemana?”
                “Pulang, gue kan udah bilang tasi pas istirahat mau anterin lo pulang. Lupa?”
                “Nggak usah, gue bisa pulang sendiri, kok.” Vannesa melepaskan tangannya yang digenggam Steve—dan sialnya Stevent makin mengeratkan genggamannya pada  tangan Vannesa.
                “Steve lep—”
                “Lo pulang bareng gue,” ucap Stevent tegas tak terbantahkan. Vannesa merengut sebal dan mengikuti Stevent yang berjalan ke arah parkiran.
                “Hai, Steve,” seorang gadis yang lebih tinggi beberapa senti dari Vannesa tiba-tiba mendekati Stevent.
                “Hai, Wen, tumben belum pulang?” sapa Steve dengan gayanya yang khas—cool dan cuek.
                “Iya, nih. Gue hari ini nggak bawa mobil, anterin gue pulang ya, Steve?” Wenda berkata dengan nada yang dibuat-buat manja. Vannesa memperhatikan gadis di hadapannya dengan seksama.
                Who’s she?
                “Sorry, Wen, gue udah ada janji sama pacar gue mau anterin dia pulang.” Tolak Stevent halus.
                “Nggak apa-apa kok, lo bisa anter pacar lo ke rumahnya dulu. Abis itu lo bisa anter gue ke apartemen gue, gimana?” tanya Wenda.
                “Duh, gimana ya, gue hari ini ada rencana mau main ke rumah Vannesa. Ya, kan, babe?” Steve menoleh kepada Vannesa yang masih memerhatikan Wenda dengan pandangan kesal.
                Vannesa melongo mendengar ucapan Stevent. “Ha? Kan lo cuma mau anterin gue doang, kak!” Tolak Vannesa.
                “Rencana berubah, gue mau mampir di rumah lo. Yaa sekedar silaturahmi sama calon mertua,” jawab Steve.
                Wenda menatap Vannesa dengan sinis, kesal merasa tidak dianggap.
                “QUÉ?! Futuros suegros? You wish!” Vannesa memukul lengan Stevent seraya menekuk wajahnya. [APA?! Calon mertua?]
                “Gue suka kalo lo ngomong Spanish, babe. It sounds sexy,” Steve mengerling jahil pada Vannesa. Mereka berdua sibuk berbicara tanpa memperdulikan Wenda yang rasa kesalnya sudah mencapai ubun-ubun.
                “Steve,” ucap Wenda berusaha menyela percakapan keduanya.
                Stevent menoleh, “Ya?”
                “Gue boleh nebeng nggak, nih?”
                Hati kecil Vannesa berteriak kesal mendengar Wenda terus berusaha agar Stevent mau mengantarnya pulang. Dasar cewek nggak tau malu!
                Vannesa tidak tahu apa penyebab ia bisa merasa sekesal ini. Seingatnya ia tak pernah suka pada Stevent. Gue nggak mungkin cemburu, kan? Pertanyaan tersebut terus ia ulang di benaknya sampai ketika Steve mengucapkan sesuatu yang membuyarkan lamunannya.
                “Lo pulang naik taksi aja emang nggak bisa, ya?” Steve menahan rasa kesalnya akibat ulah Wenda yang terus mendesaknya. Ia tidak habis pikir, kenapa cewek ini terus memaksanya agar ia antar pulang. Memangnya di luar sana taksi sudah musnah hingga harus dia yang mengantarnya pulang?
                “Ta..tapi—”
                “Tuh ada Fiko, dia bawa motor. Lo bisa nebeng sama dia. Tenang aja, Fiko jomblo, kok.” Ucap Steve santai. Ia menunjuk Fiko, teman sekelasnya yang terkenal kutu buku dan kuper walaupun mempunyai wajah yang bisa dibilang lumayan.
                Wenda berdecak kesal. Ia gondok setengah mati dengan sikap Stevent yang menolaknya sejak tadi. Si Vannesa ini pake pelet apa, sih, sampe si Stevent betah banget nempel sama dia? Ia bertanya-tanya dalam hati. Dengan kesal, Wenda menghentakan kakinya ke tanah dan berjalan menuju gerbang meninggalkan Stevent dan Vannesa yang memperhatikan tingkahnya dengan heran.
******************************************************************************
“Assalamu’alaikum,” Vannesa mengucapkan salam seraya mendorong pintu utama rumahnya.
                “Duduk dulu aja, kak. Gue mau ganti baju dulu. Mau minum apa?” tanyanya pada Stevent yang sedang menghempaskan badannya ke atas sofa beludru berwarna cokelat muda yang ada di sana.
                “Air putih dingin aja.”
                “Oke, tunggu bentar, ya.”
                “Take your time, honey.” Stevent mengerling jahil pada Vannesa yang hanya dibalas cibiran oleh gadis tersebut.
                Vannesa melangkah menuju pantry dan mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas. Ia melihat Lucia yang sedang membuat pancake dibantu Bik Icah.
                “Aku mau dong pancakenya,” pinta Vannesa. Ia menuang air mineral ke dalam sebuah gelas untuk Steve.
                “Don’t worry, sweetie. I’ve make for you, the one that use honey on it.” Jawab Lucia.
                “Umm.. Bikin satu lagi, dong. Ada temen aku di depan.”
                “Temen apa pacar, Non?” goda Bik Icah. “Barusan Bik Icah liat yang lagi duduk di depan cowok, tuh.”
                “Ha? Eh..” Vannesa gelagapan digoda seperti itu oleh Bik Icah. Wajahnya bersemu merah.
                “Haaaa, you are blushing. Itu berarti tebakan Bik Icah bener, dong?” Lucia bersuara.
                “Pokoknya aku pesen pancake satu lagi ya, pake topping ice cream vanilla di atasnya,” ucap Vannesa sebelum melesat keluar dari pantry.
                “Nih, kak, minum dulu.” Vannesa menyodorkan segelas air mineral dingin pada Stevent. “Gue ke kamar dulu, ya,” pamitnya yang hanya dibalas anggukan oleh Steve.
                Sepeninggal Vannesa, Stevent sibuk meneliti foto-foto yang terpajang di dinding dan meja yang terletak di sudut ruangan. Steve mulai terbiasa dengan rumah ini walaupun ia baru tiga kali memasuki rumah keluarga Vannesa.
                Tanpa Steve sadari, Vannesa sudah berdiri di belakangnya. “Lo lagi ngapain, kak?” Vannesa bertanya menyelidik.
                “Eh! Astagfirullah, kamu bikin aku kaget aja, babe!” Stevent berbalik untuk melihat Vannesa.
                PRAANGG!
                Tanpa sengaja tangan Steve menyenggol pigura yang ada di atas meja. Pigura tersebut terjatuh dan kacanya pecah. Vannesa langsung berjongkok untuk membereskan pecahan kaca yang ada agar tidak melukai orang lain. Sedikit rasa kesal muncul di hatinya karena Steve kurang berhati-hati.
                “Eh, sorry, Ness. Gue nggak sengaja,” ucap Steve panik. Ia membantu Vannesa membereskan pecahan kaca yang tercecer.
                “Aww..” Vannesa merintih kesakitan karena jari tangan kanannya terkena pecahan kaca yang tajam. Stevent langsung menghampirinya dan mengisap darah yang keluar dari jari telunjuknya. Vannesa merasa ada yang berdesir di hatinya ketika Stevent melakukan hal tersebut padanya. Ia menatap Stevent dalam diam.
                “Nah, darahnya udah nggak keluar lagi. Bersihin dulu di air mengalir...” Stevent mengangkat kepalanya dan pandangannya langsung tertuju ada mata Vannesa. Keduanya sama-sama terdiam. Jarak mereka sangat dekat satu sama lain.
                “Ng.. Gue ke belakang dulu, deh, kak.” Vannesa yang pertama kali memecah keheningan di antara mereka. Suasana canggung meliputi mereka berdua.
                “Eh, ya, udah. Abis itu ambil kotak P3K, ya, biar gue obatin.”
                Vannesa tidak langsung beranjak dari tempatnya, melainkan kembali diam dan menatap Stevent.
                “Apa lagi?” tanya Steve bingung.
                “Eh, oh, eng-enggak, kok.” Vannesa segera beranjak dari posisinya dan berlari menuju kamar mandi yang ada di dekat pantry.
                Di dalam kamar mandi, Vannesa langsung membasuh tangannya seraya menenangkan degup jantungnya.

                What’s wrong with me?



*Note: DO NOT PLAGIARIZE MY WORK!

No comments:

Post a Comment